Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Machbubi

Mahasiswa Aktif

Belajar dari Madilog Bahwa Tidak Ada Teks yang Hidup Sendiri

Diperbarui: 4 Agustus 2025   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pada awalnya saya bahkan belum membaca pendahuluan Madilog. Bahkan belum sampai ke bab pertama. Tapi begitu membaca paragraf pembuka di bagian "Sejarah Madilog", saya langsung terhenti. Ada satu kalimat yang membuat tanda tanya di atas kepala saya. Dari kalimat "berhenti 15 hari", saya langsung melontarkan asumsi logis yang ternyata salah.

Jadi, buku ini ditulis oleh Tan Malaka saat beliau berada di Rajawati, Cililitan, Jakarta (di dekat pabrik sepatu Kalibata). Pembuatannya lebih kurang ada sekitar 720 jam atau 240 hari atau 8 bulan dari tanggal 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Dipengakuannya, beliau mengerjakan naskah Madilog 3 jam/hari dan ada 15 hari beliau berhenti. Nah selama 15 hari berhenti ini, awalnya saya berasumsi alasan beliau berhenti karena beliau juga manusia, butuh istirahat atau mungkin ada konflik perang yang memanas di waktu itu, tapi menariknya sebuah AI yang saya ajak berdiskusi berkata lebih masuk akal dan sangat lebih memahami kondisi tan saat itu, yakni demikian:

"Berdasarkan konteks sejarah dan teks yang Anda berikan, 15 hari jeda penulisan Madilog kemungkinan BUKAN sekadar "istirahat biasa", melainkan terkait dengan tekanan ekstrem masa pendudukan Jepang (1942--1945). Seperti, Krisis kelaparan sementara (harus mencari makanan atau sakit akibat gizi buruk). Lalu gangguan aktivitas militer Jepang (razia, serangan udara, atau operasi romusha). Serta mungkin adanya upaya menyelamatkan naskah dari ancaman penyitaan (meski penggeledahan polisi baru terjadi setelah Maret 1943)."

Sebenarnya, saya ragu mengutip dari AI. Saya tahu ini bukan sumber valid dan bergantung pada jawaban instan hanya akan mempersempit pola pikir. Tapi kali ini AI justru menjadi cerminan bagi saya, ia memaksa saya bertanya, "Apa yang saya abaikan selama ini?" Dari sini saya menyadari, untuk memahami sesuatu, kita benar-benar harus tahu siapa yang berbicara, di mana dan kapan hal itu terjadi, serta bagaimana kondisi lingkungannya. Tidak cukup hanya membaca satu paragraf. Karena membaca itu seperti menyusun puzzle. Satu keping teks tak akan pernah lengkap tanpa keping-keping lain. Jikalau saya masih kekeuh dengan asumsi awal saya, berarti saya menolak adanya perbedaan dan masukan dari pihak lain. Tapi untungnya saya menyadari hal itu.

Mungkin, ini blog yang terlalu pendek dan sepele, tapi setidaknya ini langkah pertama dari keberanian diri saya dalam berkicau di ruang publik. Kalau Anda punya masukan, saya sangat terbuka! Entah tentang perbedaan pendapat atau tentang penulisan saya yang kurang ini dan itu. karena ternyata memahami sesuatu memang butuh lebih dari satu suara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline