Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Abdullah

Dosen Biologi Universitas Negeri Semarang

Pergeseran Trend Pendakian Gunung sebagai Kegiatan Wisata

Diperbarui: 19 Februari 2022   01:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 View Merapi dari Merbabu/koleksi pribadi

"Hati-Hati, Jangan Sampai Terjebak Paradigma Wisata Massal Ketika Mengembangkan Destinasi Ekowisata"

           Pendakian gunung pada awalnya muncul sebagai kegiatan penaklukan diri sendiri yang dilakukan oleh kalangan leisure class, yaitu kelas masyarakat yang memiliki kelebihan untuk menikmati hidup dengan cara mendekat kepada alam (MacCannell, 1999). Pada perkembangannya, pendakian gunung menjadi kegiatan yang bersifat petualangan yang dilakukan oleh kelompok pecinta alam. Untuk melakukan kegiatan ini, anggota kelompok harus memenuhi berbagai persyaratan dan kecakapan. Organisasi-organisasi pecinta alam seringkali menggunakan gunung beserta ekosistem di dalamnya untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan anggotanya di alam liar. Mereka yang berjiwa petualang dan pecinta alam, tak sedikit akan memaknai pendakian gunung sebagai jalan hidup untuk memahami lebih dalam tentang kehidupan atau untuk mengenal dirinya sendiri (Prastowo dan Al Rasyid, 2019).

          Pergeseran tren pendakian gunung dimulai ketika kegiatan olahraga ekstrim meningkat, salah satunya adalah jungle tracking dan vertical running. Pendakian gunung tidak hanya dilakukan oleh pecinta alam saja, namun juga oleh para atlit dua kegiatan olahraga tersebut. Berbeda dengan yang dilakukan pecinta alam ketika mendaki, para atlit olahraga ini berusaha mencapai puncak dan turun kembali secepat mungkin. Risiko tersesat dan kecelakaan di hutan atau gunung pun sering terjadi. Pengetahuan yang minim tentang jalur pendakian dan manajemen pendakian mungkin menjadi penyebab utamanya.

          Perkembangan berikutnya adalah adanya pembukaan akses ke taman nasional untuk tujuan wisata alam, termasuk taman nasional gunung. Pada awalnya kegiatan ini masuk dalam kategori wisata minat khusus dan wisata petualangan. Sebetulnya tidak banyak permasalahan yang timbul saat pendakian gunung menjadi kegiatan wisata minat khusus atau wisata petualangan. Hal ini dikarenakan pada wisata minat khusus terdapat unsur pembelajaran, penghargaan, pengkayaan pengetahuan dan petualangan (Marpaung, 2020). Namun kini wisata berbasis gunung semakin banyak digemari dan dikenal dengan wisata pendakian gunung.

          Di Indonesia, demam mendaki gunung oleh kalangan pemuda dan masyarakat terjadi pada akhir tahun 2012 dan awal tahun 2013 semenjak penayangan film "5 cm" yang tembus jutaan penonton. Film tentang para sahabat yang melakukan pendakian ke gunung Semeru ini menginspirasi masyarakat untuk menikmati keindahan alam pegunungan. Mirisnya, mereka yang minim pengetahuan dan pengalaman tentang pendakian gunung pun berbondong-bondong ikut mendaki gunung karena di film tersebut beberapa tokoh pemainnya yang sama sekali belum pernah mendaki gunung dapat melakukan pendakian bahkan sampai ke puncak tertinggi di pulau Jawa.

          Wisata minat khusus ini pun bergeser trennya mengarah ke pariwisata massal. Saat ini, bukan hanya leisure class yang menikmati alam dengan cara mendaki, tetapi juga datang dari berbagai kalangan dengan beragam tujuan. Pada Tahun 2017 jumlah pendaki tercatat sebanyak 68.242 orang atau rata-rata kurang lebih 228 orang per hari melakukan pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Marpaung, 2020). Pada tahun 2018 tercatat total sekitar 170.000 wisatawan yang mendaki ke empat gunung terkenal di Jawa Tengah yaitu gunung Andong, gunung Prau, gunung Merbabu, dan gunung Slamet (Sabila dan Purwanti, 2019). Fenomena pendaki gunung yang hanya ingin mengikuti tren tidak luput dari sorotan dengan jumlah korban yang relatif besar akibat kelalaian. Etika pendakian yang sering diabaikan menyebabkan tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan pegunungan.

          Konsekuensi dari paradigma pendakian sebagai kegiatan wisata adalah pengelolaan kegiatan wisata pendakian yang cenderung didesain sebagaimana kegiatan pariwisata massal. Pemenuhan atas elemen atraksi, aksesibilitas, dan amenitas (Damanik dan Weber, 2006) kemudian diterapkan juga dalam pengembangan wisata pendakian. 

          Atraksi dari kegiatan ekowisata pendakian gunung seringkali berupa bentang lahan alam seperti danau, air terjun, sungai, padang sabana, jajaran gunung-gunung sekitar, dan matahari terbit (sunrise). Tidak banyak pengunjung yang menikmati flora dan fauna pegunungan sepanjang jalur pendakian sebagai obyek yang menarik untuk diamati. Padahal keanekaragaman hayati pegunungan juga berpotensi dijadikan sebagai atraksi ekowisata pendakian misalnya keanekaragaman jenis burung melalui kegiatan birdwatching. Tumbuhan liar di hutan dengan kegunaan khusus dan tanaman pekarangan rumah di desa-desa jika dipadukan dengan pengetahuan dan kearifan masyarakat setempat tentang pemanfaatan dan keunikannya dapat juga dikemas sebagai daya tarik wisata. Ketika keanekaragaman hayati asli pegunungan menjadi daya tarik wisata, maka dipastikan akan terjaga keberadaan dan kelestariannya, baik oleh pengelola maupun wisatawan.

          Aksesibilitas ekowisata pendakian gunung diduga menentukan tingkat preferensi pengunjung. Dua hal utama yang berpengaruh kemungkinan adalah sarana dan prasarana jalan menuju lokasi basecamp pendakian dan jalur pendakian. Fenomena ojek gunung pun bermunculan di beberapa destinasi wisata pendakian sebagai sarana transportasi dalam koridor. Pendaki tidak perlu jalan kaki dari basecamp melewati pemukiman penduduk dan lahan pertanian menuju jalur pendakian hutan. Di beberapa gunung bahkan ojek motor tersebut memasuki jalur hutan hingga pos ojek yang berada di tengah hutan. Teraksesnya koridor hutan oleh kendaraan bermotor yang lalu lalang membawa pendaki wisatawan memungkinkan peningkatan degradasi lahan. Suara bising kendaraan bermotor juga berpotensi mengganggu hidupan liar sepanjang koridor hutan di pegunungan.

          Sebagai bentuk amenitas dalam wisata pendakian gunung, saat ini bermunculan warung-warung gunung hampir pada setiap pos di jalur pendakian. Pengetahuan dan keterampilan tentang survivor di hutan selama pendakian seolah tidak diperlukan oleh pendaki lagi. Pendaki cukup membawa uang saku untuk membeli makanan dan minuman ketika mendaki gunung. Fenomena ini bisa saja meningkatkan potensi degradasi lahan dan timbulan sampah sepanjang jalur pendakian.

View Sumbing dari Sindoro/koleksi pribadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline