Lihat ke Halaman Asli

Abdul Aziz

Wiraswasta

Akhir Zaman Oligarki Tambang? Prabowo Mulai Bersih-Bersih!

Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Kompas

Kasus korupsi dan tambang ilegal di PT Timah yang melibatkan Harvey Moeis dan kawan-kawan menjadi bukti nyata betapa besarnya kebocoran kekayaan negara akibat lemahnya pengawasan dan kuatnya cengkraman oligarki ekonomi. Kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp300 triliun bukan sekadar angka, tetapi gambaran betapa rusaknya tata kelola sumber daya alam yang seharusnya dinikmati rakyat.

Selama ini, ada pihak-pihak tertentu yang menikmati hasil bumi untuk kepentingan pribadi, sementara negara dan masyarakat justru menanggung akibatnya mulai dari kerusakan lingkungan hingga hilangnya potensi pendapatan negara. Inilah yang disebut "kebocoran kekayaan negara", masalah klasik yang terus menggerus kedaulatan ekonomi Indonesia.

Dalam konteks itu, langkah tegas Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas tambang ilegal dan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam ke tangan negara patut diapresiasi. Tindakan tersebut bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga wujud nyata pelaksanaan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Lebih jauh, pemerintahan Prabowo kini menunjukkan arah baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang tegas, berdaulat, dan berpihak pada rakyat. Tindakan keras terhadap para pelanggar bukan semata aksi hukum, melainkan langkah konkret untuk menegakkan keadilan ekonomi yang selama ini dinantikan masyarakat.

Penegakan hukum di sektor strategis seperti pertambangan juga menjadi bukti bahwa pemerintah serius menutup celah kebocoran kekayaan negara. Di bawah kepemimpinan Prabowo, pembangunan ekonomi nasional diarahkan agar hasil sumber daya benar-benar kembali kepada rakyat, bukan mengalir ke segelintir elite.

Apalagi, temuan di lapangan memperlihatkan betapa parahnya kerugian yang terjadi. Pemerintah dan Kejaksaan Agung menyita enam smelter ilegal di wilayah PT Timah, Bangka Belitung, dengan nilai aset rampasan mencapai Rp6--7 triliun. Bahkan, potensi kerugian dari eksploitasi tanah jarang (rare earth/monasit) diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Fakta ini bukan hanya mencerminkan pelanggaran hukum, tetapi juga tragedi ekonomi dan lingkungan.

Dampaknya pun meluas mulai dari rusaknya ekosistem, hilangnya potensi pajak dan royalti, hingga menurunnya kepercayaan publik terhadap dunia usaha. Karena itu, langkah penindakan harus dibarengi dengan pembenahan sistem pengawasan agar pengelolaan sumber daya alam benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.

Kunjungan langsung Presiden Prabowo ke Bangka Belitung untuk meninjau tambang ilegal dan menyaksikan penyerahan aset rampasan negara menjadi simbol nyata perubahan arah kebijakan nasional. Dalam kesempatan tersebut, beliau juga mengapresiasi sinergi Kejaksaan Agung, TNI, Bea Cukai, dan Bakamla yang berhasil mengamankan aset negara dari praktik ilegal.

Pernyataan Presiden Prabowo, "Kita selamatkan kekayaan negara untuk rakyat kita," menandai berakhirnya era pembiaran. Ucapan itu bukan sekadar slogan, melainkan langkah nyata untuk mengembalikan kendali negara atas aset strategis dan memastikan hasil kekayaan alam Indonesia benar-benar dinikmati oleh rakyatnya.

Tentunya, kasus Harvey Moeis dkk harus menjadi momentum besar untuk membenahi total sektor pertambangan nasional. Langkah tegas Presiden Prabowo menunjukkan arah pemerintahan yang berlandaskan nasionalisme ekonomi, keadilan sosial, dan kedaulatan sumber daya alam. Kebocoran kekayaan negara harus dihentikan sepenuhnya, karena setiap hasil bumi Indonesia adalah milik rakyat dan wajib digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline