Lihat ke Halaman Asli

Bayu Aristianto

Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Tempat Jin Buang Anak: Sebuah Diksi dan Kacaunya Nalar Kesantunan Kita

Diperbarui: 27 Januari 2022   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum usai isu seorang wakil rakyat, yang mengkritisi aparat penegak hukum yang bertutur menggunakan bahasa ibu (baca: bahasa daerah) di sebuah hajat pemerintahan. Kembali kita diusik oleh munculnya potongan ucapan seorang mantan caleg yang menggunakan istilah "tempat jin buang anak" untuk mengilustrasikan perpindahan ibukota ke wilayah Kalimantan, yang dianggap "sangat jauh". 

Namun akibat ujaran ini, akhirnya menimbulkan keriuhan dan kecaman oleh etnik asli Kalimantan dan sebagian kelompok masyarakat, dengan berlandaskan pada argumentasi bahwa istilah demikian mengusik marwah daerah dan menciderai toleransi kewargaan kita.

Secara kelimuan linguistik penggunaan diksi/istilah kedaerahaan adalah sebuah kekayaan bertutur dan berbincang masyarakat setempat. Pada ranah lokalitas, adanya diksi/istilah tertentu guna mempermudah komunikasi, mengeratkan hubungan sosial, dan menjunjung nilai kedaerahan. 

Pendekatan Fonologi (tentang perbendaharaan bunyi-bunyian bahasa dan cara distribusinya) di setiap daerah memiliki keunikan dan ragam intonasi.

Ungkapan "mangga", apabila diucapkan oleh orang sunda akan terdengar berbeda ketika ditutur ulang oleh masyarakat Maluku, karena "Mangga" berarti mempersilahkan atau menghormati bagi daerah Sunda, dan nama buah bagi daerah Maluku. 

Disparitas pemahaman terhadap fonem (bunyi bahasa) apabila tidak didampingi oleh kedewasaan nalar, kerap menciptakan benturan budaya disebabkan perbedaan pemaknaan dan arti yang diterima oleh masing-masing penutur.

Hal sama, terjadi ketika oknum tadi beralasan bahwa maksud dan tujuan istilah "tempat jin buang anak" berkonotasi pada preferensi untuk mengambarkan "tempat yang jauh" atau "antah berantah" meskipun ungkapan atau istilah ini akan sangat berbeda dipahami oleh masyarakat Kalimantan, yang menerimanya secara artian harfiah sebagai tempat jin membuang anak (tanpa tanda kutip).

Lalu, salahkan oknum tadi dengan pembelaan atas diksi dan pemaknaan menurut daerah dan preferensi lokalitas dimana ungkapan tersebut lahir/muncul? dan apabila masyarakat Kalimantan merasa tercemar nama baik daerahnya atas istilah tadi, kemudian berbondong-bondong mengugat, apakah hal tersebut juga dibenarkan?

Pertama saya ingin mengulas, bahwa penggunaan istilah daerah sebagai perbendaharaan kata dalam bertutur keseharian adalah wajar. Manusia Indonesia sejatinya tidak lepas dengan ruang kedaerahannya. 

Lokalitas dan budaya akan selalu mengiringi perjalanan kita dalam berdialektika dengan bermacam budaya lainnya dan mozaik pengucapan akan muncul, guna memperkaya nalar dalam kita berinteraksi satu sama lainnya.

Kedua, kepatutan dan kepantasan istilah daerah yang kita gunakan saat berinteraksi dengan rekan sejawat, handai taulan, saudara, dan orangtua yang mempunyai kesamaan pengertian atas istilah yang dituturkan, akan berbeda saat digunakan ketika berinterkasi dengan teman atau rekan yang mempunyai preferensi budaya yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline