Mohon tunggu...
Amos Ursia
Amos Ursia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kalau Dilan dan Milea Hidup Tahun 1830an

3 April 2018   22:52 Diperbarui: 3 April 2018   23:09 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selagi membaca "Max Havelaar", saya membayangkan jika saya hidup di tahun 1830 an, ketika penyiksaan tanam paksa menjadi salah satu peristiwa terkejam sepanjang sejarah manusia. Lalu, bagaimana kalau saya hidup sebagai remaja di tahun 1830 an?

Konon, kisah cinta masa remaja dan romantika nya adalah masa paling indah. Buktinya, Bung Karno saja menyesal karena masa remaja nya terlalu "serius", ketika semua waktunya habis untuk membaca dan berdiskusi (dalam sebuah wawancara dengan Cindy Adams). Mendadak saya ingat kisah cinta Dilan Milea. Semenjak mereka booming, semua remaja Indonesia ingin punya kisah indah seperti Dilan Milea, dan Dilan Milea adalah "couple goals" remaja Indonesia 2018.

Sebenernya, ada kisah lebih indah dan lebih baper dibanding Dilan Milea. Dan kisah ini sangat monumental dalam sastra Indonesia.

----Dia adalah Saidjahku tahun 1830----

Untuk bisa membaca kisah ini, bisa dilihat di buku "Max Havelaar" nya Multatuli. Bab 17. Dan ini hanya ringkasan dari satu bab dalam buku Multatuli tersebut. 

Eduard Douwes Dekker membuka kisah ini dengan menggambarkan penderitaan petani Banten. Tentang Saidjah kecil yang menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Sayangnya kebahagiaan itu tak lama.

Berkali-kali kerbau milik Saidjah diambil paksa oleh "debt collector" suruhan Bupati. Tak ada rakyat yang berani melawan. Para "debt collector" ini ditakuti seluruh rakyat. Siapa yang berani melawan ketajaman golok mereka. 

Pemerasan ini terjadi terus dan terus. Hingga akhirnya Ayah Saidjah tak punya apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diperas oleh penguasa.

Ibu Saidjah terpukul atas perlakuan itu. Dia sakit lalu meninggal. Sepeninggalan istrinya, ayah Saidjah pun stres. Dia lari dari kampung, lalu dia meninggal dalam penjara karena tidak memiliki surat jalan dan dianggap gila. Ayah Saidjah tak pernah kembali.

Dalam kesedihan, Saidjah tumbuh menjadi seorang remaja pria yang tangguh. Dia menjalin kasih dengan Adinda, sahabatnya sejak kecil. 

Saidjah lalu pergi ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan pada seorang Belanda. Dia mengumpulkan uang untuk kelak melamar Adinda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun