Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Trip

Tuhoi: Melodrama Mudik

25 Juni 2019   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2019   15:49 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Suparmin[1]

 

Mudik yang semakna dengan pulang kampung telah menjadi ritual sakral setiap tahun, khususnya menjelang idul fitri. Tidak afdal rasanya berlebaran di rantau. Bahkan, beberapa kawan merasa asing karena tidak memiliki kampung halaman untuk dijadikan tujuan mudik.

 Kali ini saya akan bercerita bagaimana saya mudik. Apa pentingnya saya ceritakan kepada pembaca. Saya akan jawab sendiri. Supaya pembaca tahu bahwa ada sebuah kampung yang masih perlu untuk dilirik pembangunannya. Juga sebuah kampung yang alami dan jauh dari hirup pikuk polusi dan keramaian. Jangan sampai suatu saat ada pembaca yang ingin bertandang ke sana, saya siap untuk menjadi penunjuk jalan sekaligus menyiapkan penginapannya. Semalam bermalam, gratislah. Ha..ha..

 Namanya Tuhoi. Tepatnya Kampung Tuhoi. Sebuah kampong yang berada paling ujung timur Kabupaten Gowa. Pas berbatasan dengan Kabupaten Sinjai; Kecamatan Sinjai Barat. Akses terdekat pun jika ingin berkunjung ke Tuhoi adalah melewati Kabupaten Sinjai. Jika ingin tetap setia menyusuri jalanan Kabupaten Gowa, dibutuhkan tenaga lebih dan waktu yang lebih lama.

Jaraknya sekitar 140 km dari ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa. Diawali dengan perjalanan darat. Perjalanan darat menyusuri jalan beton dan beraspal. Dari Sungguminasa kita akan memasuki daerah Danau Bili-Bili kemudian terus ke arah Malino, Kec. Tinggimoncong. Rehat sejenak. Menikmati dinginnya kota bunga. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Tombolo Pao. Jarak dari sini tidak lagi terlalu jauh. Kecamatan inilah yang menaungi Kampung Tuhoi secara administrasi. Setelah sampai perbatasan kabupaten yang ditandai dengan sebuah jembatan, perjalanan dilanjutkan masuk ke wilayah Kecamatan Sinjai Barat, Kab. Sinjai. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan alam yang indah sepanjang perjalanan sehingga perjalanan tidak membosankan.

Perjalanan tidak berhenti sampai di situ. Setelah menikmati jalanan mulus Kabupaten Sinjai yang dipadu dengan keindahan pemandangan sawah di sepanjang perjalanan, kendaraan roda empat yang saya kendarai mesti diparkir di pinggir jalan. Di depan sebuah rumah warga kampung. Meminta izin menitip sekaligus menjaganya. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di sinilah kekuatan diuji. Menysuri jalan berbatu hingga jembatan gantung dan jalanan berlumpur. Semuanya menjadi melodrama mudik kali ini.

Kampung dan Kisahnya

1

Gambar Jalan Menuju Tuhoi | dokpri
Gambar Jalan Menuju Tuhoi | dokpri

Awal sampai, saya mesti menarik napas dalam-dalam. Setelah menempuh pejalanan yang cukup menantang, tibalah di tempat tujuan. Senyum hangat Ibu dan Kakak Ipar menjemput di ujung tangga. Hilanglah rasa lelah setelah menyaksikan senyum merekah dari kulit yang telah berusia lanjut. Kuraih tangannya, kukecuk keningnya, kupeluk, lalu bersimpuh di hadapannya. Elusan dari sang Ibu yang tulus menggetarkan jiwa.

 Hanya semalam saya berada di sana sebelum lebaran tiba. Hujan turun kala itu. Akan tetapi, niat untuk berlebaran di masjid berkumpul dengan orang kampung tidak surut. Pakaian tidak perlu disetrika. Tidak ada pencitraan di sini. Semua orang akan datang berlebaran apa adanya. Niatnya tulus untuk berkumpul dan bersilaturahmi. Pak imam dengan suara terbata-bata menyampaikan tata cara salat id sebelum dimulai. Hanya tiga baris laki-laki dan juga tiga baris perempuan.

 Saya lalu kembali ke rumah. Menyeruput secangkir kopi dan beberapa penganan khusus lebaran. Tak lama, rombongan anak-anak datang bersilaturahmi. Tidak hanya sampai di situ, rombongan berikutnya datang, bahkan hingga orang tua pun silih berganti datang berkunjung. Hingga sore, kunjungan tak pernah terputus.

 Inilah yang saya tidak temukan di kota. Keakraban tanpa sekat dan tanpa tujuan tertentu. Semuanya berbaur dalam canda tawa lepas tak berbeban.

1

Pemandangan di Kampung Tuhoi | dokpri
Pemandangan di Kampung Tuhoi | dokpri
Energi gotong royong jangan disangsikan. Mulai dari pekerjaan menyiapkan lahan pertanian, panen, acara pernikahan, hingga urusan piring pun bisa dipinjam ke tetangga ketika ada pesta. Tetangga yang saya maksud bukan di samping rumah, tapi seluruh warga kampung. Asyik bukan?

Hal lain, saya menuliskan ini supaya pemerintah tahu, bahwa ada sebuah kampong yang berada di bawah tanggung jawab beliau yang masih perlu dijamah. Memang, pembangunan sudah mulai berdenyut di sana. Dana Desa telah mengecilkan perbedaan antara kota dan desa. Akan tetapi, coba bayangkan, akses jalan belum bisa dilalui kendaraan, akses komunikasi meminjam dari sinyal kabupaten tetangga, akses listrik PLN tidak ada sama sekali padahal di sungai kampung telah terbangun tiga pembangkit listrik tenaga air. Sebuah anomali.

Saya tetap bangga dengan kampungku, bangga dengan segala keterbatasannya. Bangga karena saya bisa mudik bersama keluarga kecil, menapaki kenangan yang tercipta ketika masa kecil dulu. Tuhoi, di Jiwaku terpatri Bahwi Kita Indonesia, Kita Pancasila. Sekian.

 

   

[1] Pendidik di SMA Negeri 9 Gowa, Sulsel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun