Setiap tahun, tepian Sungai Kuantan di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau berubah menjadi panggung kolosal. Puluhan perahu panjang yang disebut 'jalur', melesat di atas air yang berwarna kecokelatan, digerakkan oleh puluhan pemuda bertelanjang dada yang mendayung seirama. Di darat tidak kalah meriah, sorak-sorai ratusan ribu penonton bergemuruh, menciptakan sebuah simfoni antara manusia beserta adat tradisinya dengan alam. Inilah Pacu Jalur, sebuah perayaan yang detaknya telah menyatu dengan denyut nadi masyarakat Kuantan Singingi selama lebih dari satu abad.
Namun, di balik riuh rendah festival yang kini menjadi ikon pariwisata ini, sebuah arus lain tengah bergerak deras. Masuknya kepentingan pariwisata massal, dana korporasi, dan intervensi birokrasi telah mengubah Pacu Jalur dari sekadar ritual komunal menjadi sebuah arena pertarungan yang kompleks. Tradisi yang dulunya sakral kini harus berhadapan dengan logika industri. Hal demikian bukanlah sekedar opini belaka, dengan menggunakan lensa teori sosiolog Pierre Bourdieu, kita dapat melihat bahwa Pacu Jalur telah bertransformasi menjadi sebuah ranah (field) baru, di mana berbagai bentuk modal (capital) dipertaruhkan untuk memperebutkan definisi baru dari gengsi dan kehormatan.
Menurut Bourdieu, ranah adalah sebuah arena sosial tempat para aktor bersaing sesuai dengan aturan main yang berlaku. Begitu pula Ranah Pacu Jalur tradisional adalah dunia yang relatif tertutup. Aktor utamanya adalah kesatuan desa, para tetua adat, sang pawang jalur dengan pengetahuan magisnya, dan para anak pacu yang menjadi representasi kekuatan fisik dan spiritual komunitas. Aturan mainnya didasarkan pada kehormatan komunal; kemenangan sebuah jalur adalah kemenangan seluruh desa, sebuah gengsi yang akan dikenang sepanjang tahun.
Kini, ranah itu telah meluas secara dramatis. Aktor-aktor baru telah masuk dengan membawa logika dan kepentingannya masing-masing. Pemerintah Daerah hadir dengan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan angka kunjungan wisatawan. Perusahaan-perusahaan besar datang sebagai sponsor, menempelkan logo mereka di lambung perahu dengan imbalan visibilitas merek. Media massa dan para influencer memburu konten dramatis yang viral. Akibatnya, "aturan main" yang tak tertulis pun bergeser. Tujuan Pacu Jalur kini terfragmentasi: selain kehormatan desa, ada pula target pasar, citra politik, dan keuntungan finansial.
Di dalam ranah yang baru ini, pertarungan tidak lagi hanya dimenangkan oleh kekuatan dayung, tetapi oleh penguasaan atas berbagai jenis modal. Di sinilah motor penggerak utama perubahan itu bekerja: konversi modal. Modal ekonomi, dalam bentuk dana dari para sponsor atau anggaran pemerintah, kini menjadi yang paling dominan. Kekuatan uang ini terbukti mampu dikonversi menjadi bentuk modal lainnya, yang secara perlahan mengikis fondasi tradisi.
Bayangkan sebuah tim desa yang mengandalkan gotong royong dan iuran warga (modal sosial tradisional) harus berhadapan dengan tim yang didanai penuh oleh sebuah perusahaan perkebunan. Tim kedua ini, dengan modal ekonominya, bisa membeli perahu terbaik, menyewa pelatih profesional dari luar, dan memberikan bonus besar bagi para pendayungnya. Di sini, modal ekonomi secara efektif membeli keunggulan, melewati proses panjang modal budaya tradisional seperti keahlian turun-temurun dalam membuat perahu atau membina atlet secara komunal. Pengetahuan sakral sang pawang yang dulunya tak ternilai harganya, kini bisa disaingi atau bahkan disewa dengan kontrak profesional, mengubahnya dari praktik spiritual menjadi jasa komersial.
Konsekuensinya merembet pada perebutan modal simbolik: gengsi dan kehormatan itu sendiri. Dahulu, modal simbolik tertinggi adalah menjadi juara. Nama jalur dan desa pemenang akan terpatri dalam ingatan kolektif. Kini, sumber gengsi menjadi beragam. Sebuah tim mungkin tidak menjadi juara, tetapi jika mereka mendapatkan sponsor terbesar, diliput secara eksklusif oleh stasiun TV nasional, atau seragamnya paling instagramable, mereka tetap memperoleh bentuk prestise yang lain. Gengsi kini tak lagi hanya diukur dari seberapa cepat jalur membelah air, tetapi juga dari seberapa besar logo sponsor yang tertera di lambungnya.
Benturan ini pada akhirnya memanifestasikan dirinya dalam habitus naluri atau rasa permainan (feel for the game) yang mendarah daging pada para anak jalur. Di banyak tim saat ini, terjadi bentrokan antara habitus tradisional yang dipegang oleh para tetua atau pelatih senior, dengan habitus modern yang dibawa oleh generasi yang lebih muda atau manajer tim yang berlatar belakang olahraga modern. Ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan benturan dua logika praktik yang berbeda.
Misalnya, dalam metode latihan dan pemilihan anak pacu. Habitus Tradisional seorang pelatih senior mengandalkan raso (rasa, intuisi). Ia akan mengamati para pemuda berlatih di sungai, dan dengan nalurinya yang terbentuk puluhan tahun, ia bisa merasakan siapa yang memiliki semangat jalur, siapa yang dayungannya 'berisi', dan siapa yang mentalnya kuat. Strategi di hari perlombaan pun seringkali cair, sangat bergantung pada kepekaan sang tukang onjai (juru mudi di tengah) untuk membaca momentum lawan dan arus sungai secara intuitif pada saat itu juga. Baginya, kekuatan tim adalah keselarasan spiritual dan fisik yang tak bisa diukur angka.
Contoh lain adalah pada kasus pemilihan kayu untuk perahu. Habitus seorang tukang jalur (pembuat perahu) tradisional membuatnya mampu mengetuk sebatang pohon dan dari bunyinya ia tahu kualitas kayu tersebut. Ini adalah pengetahuan tubuh yang tak tertulis. Sementara habitus modern mungkin lebih percaya pada data kelembapan kayu atau analisis laboratorium mengenai kepadatannya. Keduanya bertujuan sama, yaitu mendapatkan perahu terbaik, namun berangkat dari cara pandang dunia yang sama sekali berbeda.
Melihat Pacu Jalur hanya sebagai evolusi budaya adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah negosiasi ulang yang berisiko tinggi, di mana otentisitas dan jiwa sebuah tradisi menjadi taruhannya. Analisis Bourdieu menunjukkan dengan gamblang bahwa ketika modal ekonomi menjadi pemain utama dalam sebuah ranah budaya, risiko komodifikasi menjadi tak terelakkan. Ini bukanlah proses alami, melainkan hasil dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah, sponsor, dan masyarakat itu sendiri. Tanpa kesadaran kritis, riuh sorak-sorai di tepian sungai berisiko hanya menjadi musik latar dari sebuah tradisi yang kendalinya mulai terlepas.