Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Mabuk Agama

19 Januari 2020   10:48 Diperbarui: 19 Januari 2020   10:57 5957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Hidayatullah.com

Dalam satu riwayat diceritakan, sepulang perang Badar nabi Muhammad SAW bersabda, kita pulang dari peperangan kecil menuju peperangan besar. 

Seorang sahabat bertanya prihal peperangan besar itu. Bukankah Badar adalah peperangan besar yang dihadapi umat Islam saat itu? Nabi Muhammad SAW menjawab, peperangan besar adalah perang melawan hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah keinginan,  kecenderungan dan dorongan hati yang sangat kuat. Dorongan  untuk berbuat hal-hal kurang baik. Keinginan (baca;hawa nafsu) orang itu berdeda-beda. Keinginan yang berlebihan dinamai ambisi. 

Ambisi berlebihan menjadikan orang gila. Ada gila jabatan. Gila harta. Gila wanita dan lainnya. Proses menuju kegilaan disebut "mabuk". Mabuk tahta. Mabuk harta,  mabuk wanita dan mabuk lainnya.

Belakangan ada orang mabuk agama. Sebelum membahasnya lebih jauh, apa sebenarnya mabuk itu? Mabuk dalam pengertian umum adalah keadaan   keracunan karena konsumsi alkohol sampai kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan mental dan fisik. 

Gejala umum antara lain bicara tidak jelas, keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah, dan kelakuan-kelakuan aneh lainnya. Namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu filsafat dan agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun dalam keadaan sadar.

Mabuk agama adalah prilaku seseorang dalam mengamalkan ajaran agama secara belebihan sehingga mengabaikan akal sehat. Mereka seperti over dosis dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Hal itu disebabkan karena pemahaman mereka terhadap agama sangat dangkal. Contoh, orang berpikiran bahwa tanda hitam di jidad adalah atribut orang saleh. Mereka ramai-ramai menghitamkan jidad. Apa benar demikian? Tentu, bukan jaminan. Kesalehan seseorang ditentukan pada amal perbuatan, ketulusan hati, dan keikhlashan. Justru dengan menandai tanda hitam di jidad mendorong seseorang kepada perbuatan riya, ujub dan takabur.

Berikut beberapa fenomena mabuk agama yang ada di tengah masyarakat. Fenomena sosial yang mencerminkan pendangkalan pemahaman, pengahayatan dan pengamalan agama. Pertama, gerakan takfiri. Takfiri adalah sebutan bagi seorang muslim yang menuduh muslim lainya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran agama samawi lain) sebagai kafir dan murtad. 

Tindakan menuduh muslim lain sebagai "kafir" telah menjadi suatu bentuk penghinaan sektarian, yaitu seorang muslim menuduh muslim madzhab, kelompok atau aliran lainnya sebagai kafir. Maka tindak kekerasan yang berawal dari tuduhan saling mengkafirkan pun kian marak  terjadi akhir-akhir ini.

 Mengkafirkan orang lain berawal dari kepercayaan  berlebihan bahwa dirinyalah yang paling benar. Akibatnya, semua yang berbeda disalahkan, dibidahkan, disesatkan dan dikafirkan. Lebih fatal lagi, jika mengkafirkan dilanjutkan dengan keyakinan bahwa orang kafir wajib dibunuh. Diperangi. Terbukti banyak aksi teror beralatar belakang dari pemahaman takfiri. Iming-iming bidadari surga menjadikan para martir rela mengorbankan nyawanya. Mereka mabuk. Mencelakai diri demi sesuatu yang tak jelas.

Kedua,  berhijrah. Gerakan berhijrah populer di kalangan anak-anak muda, mulai selebritis hingga orang biasa. Yaitu gerakan mengajak orang berpindah gaya hidup. Dimulai dari mengubah penampilan,  cara berpakaian yang kearab-araban, mengedepankan hal-hal sunnah, dan menonjolkan praktik-praktik yang dianggap Islami. 

Pada tahap ini tak ada masalah sebenarnya. Tapi ketika berhijrah lebih menitikberatkan pada sesuatu yang besifat simbolik makna hijrah akan menjadi bias. Terlebih manakala diiringi dengan mengabaikan, mencampakkan kearifan lokal. Menyalahkan budaya setempat. Anda boleh saja memakai peci putih tapi apa perlu menuduh orang menggunakan blankon sebagai perbuatan berbau syirik? Anda bisa mengenakan gamis atau jubah, tapi apa harus membuang sarung? Baju kokoh?

Ketiga, label syariah. Pelebelan biasa digunakan dalam kegiatan ekonomi seperti pemberian nama produk atau lainnya. Ada hotel syariah, rumah sakit syariah, perumahan syariah, koperasi syariah dan masih banyak lagi. Menjadi kurang bijak ketika syariah hanya digunakan sebagai kedok bisnis, guna menarik simpatik publik atau pasar. 

Lebel syariah digunakan untuk penipuan seperti yang belakangan terjadi,  investasi bodong PT Kampoeng Kurma yang menjanjikan hasil sesuai prinsip syariah. Menurut  kajian MUI cara bisnis dan investasi PT Kampoeng Kurma dinilai menerapkan sistem judi dan gharar (tipuan). Terlebih pelabelan syariah dilakukan secara liar, tanpa melalui proses penilaian, kajian sebelumnya.

Bagaimana menanggulanginya?

Kenapa fenomena sosial di atas terjadi? Jawabanya, karena di Indonesia sekarang banyak orang yang mabuk agama. Yakni mereka yang bermodalkan semangat, tak mengedepankan ilmu dan akal sehat dalam menjalani hidup beragama. Ditambah dengan fanatik buta. Padahal menurut seorang kritikus sastra asal Inggris Robert Graves fanatik terhadap agama adalah bentuk kegilaan yang membahayakan.

Sebab itu, menurut hemat saya sebaiknya kita berhati-hati dalam memahami, mengamalkan ajaran agama. Jangan merasa paling benar. Ingat Iblis terkutuk dan celaka karena kesombongannya menganggap diri paling hebat, paling pintar, paling mulia dan paling benar. Kemudian hargai dan hormati perbedaan yang ada. Bukankah perbedaan dalam segala halnya adalah keniscayaan?

Selain itu, perdalam terus ilmu agama secara baik dan benar. Jangan mau dibatasi oleh sekat-sekat fanatisme kelompok atau golongan. Pandangan yang luas akan memudahkan menghadirkan sikap toleransi. Dan gunakan akal sehat dalam menimbang setiap ilmu yang disuguhkan. Semangat mencari kebenaran kudu dihidupkan secara terus menerus. Jangan merasa pintar karena saat itu anda bodoh. Jangan merasa benar sebab saat merasa benar anda sejatinya salah.

Kebenaran hanya milik Allah.

Walhasil, mabuk agama adalah hawa nafsu. Hawa nafsu menjelma apapun  sepantasnya diperangi, dihindari seperti ajakan Rasulullah SAW. Agar tak terjebak pada mabuk beragama gunakan akal sehat sebagi perisai. Buang fanatisme madzhab, golongan, atau kelompok secara berlebihan. Fanaatisme seperti virus membayakan dalam tubuh umat Islam. Fanatisme menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Mabuk. Wa Allahu 'Alam 

Penulis adalah Pemerhati Sosial, Politik dan Agama tinggal di Indramayu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun