Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Macet di Jakarta Gubernur Disalahkan, Bagaimana Macet di Luar Jakarta?

1 Agustus 2014   13:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:42 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam masa liburan lebaran, banyak masyarakat yang ke luar kota baik untuk pulang kampung ataupun pergi ke kota lain untuk berlibur. Hal yang sama juga dilakukan warga Jakarta baik warga yang benar-benar berdomisili di Jakarta ataupun yang hanya numpang hidup di Jakarta. Warga Jakarta yang sedang ke luar kota tersebut ada yang menggunakan angkutan umum, ada pula yang menggunakan kendaraan pribadi khususnya kendaraan roda empat atau mobil.

Banyaknya warga Jakarta yang ke luar kota tersebut otomatis membuat kota Jakarta relatif lengang dan terbebas dari kemacetan, kecuali di tempat-tempat tertentu seperti objek wisata. Sejenak warga Jakarta yang tidak kemana-mana alias tetap di Jakarta merasakan kenyamanan yang sangat jarang dirasakan setiap hari, khususnya tidak terjadi lagi kemacetan yang parah. Hal sebaliknya justru terjadi di daerah-daerah yang menjadi tujuan mudik atau tempat berlibur. Kemacetan terjadi di berbagai tempat, dari kemacetan biasa hingga kemacetan yang parah hingga harus antri di jalan berjam-jam bahkan lebih dari lima jam akibat kemacetan yang sangat parah. Kemacetan yang dialami tersebut tak lupa dishare di media sosial, dijadikan status Facebook, kicauan Twitter dan status di BBM. “Jalan di Kota X macet parah”, “Sudah dua jam belum juga bergerak di Jalan Raya kota Y”, “Kapan sampai di rumah kalau macet begini, Kota A sudah berubah”. Demikianlah kurang lebih curhat-curhat yang penulis amati di media sosial.

Membaca status di FB atau BBM dan kicauan di twitter tentang kemacetan yang terjadi di luar Jakarta, penulis tidak menjumpai ada yang menyalahkan Kepala Daerah setempat. Hal ini sangat jauh berbeda tatkala penulis memperhatikan status atau kicauan terkait kemacetan yang terjadi di Jakarta. Kepala Daerah atau Gubernur Jakarta selalu disalahkan para pengguna jalan yang mengalami kemacetan. “Gimana nih kerjanya Gubernur, kok macet makin parah?”, “Janji-janji doang, tapi buktinya macet tetap parah”. Demikianlah kira-kira kekesalan pengguna jalan di Jakarta. Bahkan kekesalan tersebut makin menjadi menjelang pilpres hingga setelah pencoblosan pilpres yang baru lalu. Cukup banyak yang melampiaskannya dengan memaki Gubernur Jakarta yang kebetulan dicalonkan sebagai Presiden RI, apalagi bila memang yang bersangkutan mendukung calon presiden yang satunya lagi. “Ngurus Jakarta saja gak becus, kok mau jadi presiden”, “Mengatasi kemacetan janji-janji doang, eh malah bikin janji lagi demi jadi presiden”, kurang lebih demikianlah kekesalan mereka bahkan ada yang lebih kasar lagi dengan memaki.

Dari sini terlihat kontrasnya perilaku warga Jakarta tatkala mereka mengalami kemacetan saat di Kota Jakarta dengan di luar Jakarta. Di luar Jakarta mereka seolah mau berkompromi, memaklumi dan enjoy dengan kemacetan yang dialami, meskipun kadar kemacetannya tidak jauh berbeda dengan yang biasa di alami di Jakarta. Bila di Jakarta mereka senang menyalahkan orang lain khususnya pada Kepala Daerahnya, maka saat mengalami macet di daerah luar Jakarta hal yang sama tidak mereka lakukan yaitu menyalahkan Kepala Daerah setempat.

Peristiwa kemacetan yang terjadi di daerah dan sebaliknya jalanan di kota Jakarta lengang, semestinya membuka cakrawala berpikir kita semua. Kemacetan tidak serta merta kesalahan aparatur pemerintah khususnya sang Kepala Daerah. Ada beberapa pihak yang turut andil menciptakan kemacetan. Ada dari penegak hukum yang kurang tegas atau tidak menjalankan tugas dengan semestinya, rambu-rambu lalu lintas yang tidak berfungsi, jalanan yang buruk, banyaknya pedagang di pinggir jalan, dan juga termasuk andil kita sendiri seperti terlalu egois ingin nyaman sendiri sehingga setiap orang membawa mobil yang memenuhi jalanan yang terbatas, tidak mau antri dan sabar lalu menyerobot, tidak patuh aturan lalu lintas dan sebagainya.

Semoga dengan tetap merasakan kemacetan parah saat keluar daerah, jauh dari kota Jakarta, dan juga masih dalam suasana hati dan pikiran yang bersih setelah sebulan penuh mengendalikan hawa nafsu, kita semua bisa instropeksi diri. Kenyamanan di jalan khususnya bebas dari kemacetan adalah keinginan kita bersama. Namun hal tersebut akan sangat sulit dicapai bila masing-masing kita hanya memikirkan diri sendiri dan sibuk menyalahkan pihak lain. Semoga hal ini menyadarkan kita semua bahwa betapa sulitnya mengatasi kemacetan di Jakarta, Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan segala problemanya, dimana banyak pihak yang berkepentingan dan relatif sulit untuk diajak berkoordinasi. Belum lagi ditambah sikap kita yang selalu skeptis dengan kebijakan Pemerintah Kota Jakarta, bukannya mendukungnya dan berlaku tertib, tapi malah sebaliknya lebih mementingkan diri sendiri dari pada berusaha memberi sumbangsih yang berarti, sekecil apapun itu.

Semoga latihan sebulan penuh dalam keberkahan Ramadhan bisa terus membekas dalam perilaku kita di sebelas bulan berikutnya, khususnya dalam berperilaku tertib dan santun di jalanan, tatkala nanti saat semua warga Jakarta kembali lagi ke Jakarta untuk mencari penghidupan. Jakarta milik kita semua, Jakarta telah memberi banyak kepada warganya. Apa sumbangsih warganya untuk Jakarta? Tentu saja diharapkan tidak lagi hanya sekadar kesal, menyalahkan dan memaki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun