Mohon tunggu...
Amir Fauzi dan Habib Arafah
Amir Fauzi dan Habib Arafah Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak Dosen Pengampu : Dr. Fajar Khaify Rizky, S.H., M.H. dan Dr. Rosmalinda, S.H., LLM.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Restorative Justice, Solusi atau Ilusi untuk Anak Korban Kekerasan Seksual?

16 Oktober 2025   13:46 Diperbarui: 16 Oktober 2025   13:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Publik sempat digemparkan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak di mana pelaku dan korban ‘didamaikan’ melalui mekanisme restorative justice. Salah satu kasus penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di Banyuwangi, Seorang gadis berusia 18 tahun asal Banyuwangi yaitu SA, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki dewasa pasa Desember 2021, Beberapa bulan kemudian, tepatnya Maret 2022, SA justru dinikahkan dengan salah satu pelaku berinisial S (28). Bukan perlindungan yang ia dapatkan, melainkan tekanan dari keluarga yang menganggap peristiwa itu sebagai aib yang harus ditutupi melalui pernikahan. Namun, ironi terjadi, setelah SA melahirkan anak tersebut pada Juni 2022, S meninggalkannya begitu saja. Selanjutnya ditahun yang sama di Kota Kediri, oknum guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Kediri berinisial IM mencabuli 8 orang muridnya. Kasus ini berlanjut dengan dilaporkannya IM oleh orang tua korban ke Dinas Pendirikan Kota Kediri. Alih-alih berlanjut ke proses hukum, peristiwa tersebut berujung pada kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Kepala Dinas Pendidikan Kota Kediri, Siswanto, menjelaskan bahwa penyelesaian secara kekeluargaan dilakukan atas permintaan keluarga korban sendiri. Ia menuturkan, setelah keluarga dipanggil untuk dimintai keterangan, mereka hanya mengajukan satu permintaan, yakni agar guru yang bersangkutan dipindahkan. Permintaan itu pun dikabulkan. Menurut Siswanto, keluarga korban memilih tidak melanjutkan kasus ke jalur hukum karena mempertimbangkan masa depan anak mereka. Tapi di Tengah semua itu, muncul pertanyaan yang sulit diabaikan: apakah pantas luka seorang anak dipulihkan hanya dengan maaf dan kesepakatan damai ?

Restorative justice (RJ) adalah proses penyelesain sengketa non-litigasi yang menekankan pada proses pemulihan bukan pembalasan. Pengaturan mengenai Restorative justice ada pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 dan juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, keadilan restoratif dimaknai dengan penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan melalui mekanisme Restorative justice. Adapun tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme Restorative justice harus memenuhi syarat umum dan khusus. Penjelasan mengenai syarat umum terdapat pada Pasal 4 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 yang terbagi menjadi syarat materiil dan formil. Selanjutnya pada Pasal 5 dijelaskan lebih lanjut mengenai persyaratan materiil sebagai berikut:

  • Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
  • Tidak berdampak konflik sosial;
  • Tidak berpotensi memecah belah bangsa;
  • Tidak bersifat radikalisme dan separatisme;
  • Bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan; dan
  • Bukan Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak terhadap nyawa orang.

Selanjutnya mengenai syarat formil diatur pada Pasal 6 yang meliputi:

  • Perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk Tindak Pidana Na:rkobk;dan II
  • Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab I pelaku, kecuali untuk Tindak Pidana Narkoba.

Perdamaian yang dimaksud dalam Pasal 6 haruslah dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangai oleh para pihak. Selain itu, penyelesaian tindak pidana melalui mekanisme Restorative Justice harus dapat memenuhi hak korban yaitu dapat berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat Tindak Pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana. Sedangkan syarat khusus yang dimaksud hanya berlaku untuk Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik, Narkoba dan lalu lintas.

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menjadi korbannya, penerapan mekanisme Restorative Justice dapat menimbulkan risiko besar. Kerap kali, keluarga korban ditekan untuk memaafkan demi menjaga “nama baik” atau menghindari proses panjang di Pengadilan. Tidak jarang pula, perdamaian disertai kompensasi materi, seolah trauma yang muncul dari seorang anak korban kekerasan seksual dapat dibayarkan dengan uang. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pada Pasal 23 secara tegas menyatakan “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang”. Namun adanya mekanisme Restorative Justice justru menjadi celah dalam penyelesaian Tindak Pidana kekerasan seksual.

Namun pada hakikatnya, adanya upaya restoratif tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Maraknya penerapan mekanisme Restorative Justice didasari pada sempitnya pemahaman APH mengenai konsep Restorative Justice. Hal ini yang menimbulkan banyaknya upaya perdamaian  yang dilakukan dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan seksual. Padahal hal ini sangat bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur termasuk dalam tindak pidana serius yang berdampak besar bagi korban. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Kapolri, kasus ini tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice.

            Restorative justice menjanjikan pemulihan, tapi dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak, “pemulihan” itu justru menjadi semu. Di atas kertas, konsep ini tampak ideal, pelaku diminta bertanggung jawab, korban diberikan ruang untuk didengar, dan masyarakat diajak terlibat dalam penyembuhan sosial. Namun realitas di lapangan sering kali jauh berbeda dari teori yang diajarkan. Dalam banyak kasus, korban justru menjadi pihak yang kembali disakiti oleh sistem. Mereka dipaksa untuk duduk di hadapan pelaku, mendengarkan kata “maaf” yang belum tentu tulus, seolah maaf bisa menghapus trauma dan ketakutan yang mereka rasakan. Anak yang masih labil, belum sepenuhnya memahami makna keadilan, hanya bisa diam, bingung, takut, dan merasa tak berdaya. Yang tersisa di benak mereka bukan pemulihan, tetapi kebingungan mengapa orang yang menyakiti mereka masih bisa bebas berjalan di luar sana. Psikolog anak menegaskan, trauma seksual bukan sesuatu yang bisa sembuh dalam hitungan hari atau bulan. Ia menempel dalam ingatan korban, dalam cara mereka melihat dunia, bahkan dalam cara mereka mempercayai orang lain. Pemulihan trauma membutuhkan proses panjang: terapi psikologis, dukungan keluarga, dan lingkungan yang benar-benar aman. Sayangnya, proses restorative justice yang terlalu cepat dan administratif justru menutup ruang itu. Ketika sistem hukum terburu-buru menutup perkara atas nama “restoratif”, korban kehilangan kesempatan untuk diakui lukanya, kehilangan ruang untuk menyuarakan rasa sakitnya, dan kehilangan haknya untuk mendapatkan keadilan yang sejati.

            Tidak bisa dipungkiri, restorative justice memiliki nilai positif  jika diterapkan dengan tepat. Pendekatan ini bisa sangat berguna dalam kasus tertentu, misalnya ketika pelaku juga masih di bawah umur, atau dalam tindak pidana ringan yang tidak menimbulkan luka mendalam. Di situasi seperti itu, restorative justice dapat menjadi sarana pembelajaran dan tanggung jawab sosial tanpa perlu menghancurkan masa depan anak yang melakukan kesalahan. Namun, ketika konsep ini diterapkan pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, situasinya berubah total. Di sini bukan hanya hukum yang dilanggar, tapi juga tubuh, rasa aman, dan martabat manusia. Restorative justice dalam konteks seperti ini justru bisa berubah menjadi ilusi keadilan, sebuah jalan pintas untuk menutup kasus tanpa benar-benar memulihkan korban. Yang sebenarnya “dipulihkan” bukanlah anak yang disakiti, melainkan citra sistem hukum yang ingin terlihat cepat, efisien, dan manusiawi di mata publik. Padahal, prinsip utama dalam hukum anak sangat jelas: kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Prinsip ini menempatkan keselamatan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas tertinggi di atas kepentingan siapa pun, termasuk aparat penegak hukum atau pelaku. Tidak ada keadilan restoratif yang sah secara moral jika pada akhirnya justru mengorbankan rasa aman dan hak korban demi “perdamaian semu” yang hanya menyenangkan pihak lain.

            Kita sering lupa bahwa bagi korban, perdamaian bukan berarti duduk bersama dan saling memaafkan. Bagi mereka, perdamaian berarti bisa tidur tanpa mimpi buruk, bisa pergi ke sekolah tanpa rasa takut, bisa memandang dirinya di cermin tanpa merasa kotor atau bersalah. Itu adalah bentuk pemulihan yang sejati, sesuatu yang tidak bisa dicapai hanya dengan surat kesepakatan atau jabat tangan di depan aparat. Restorative justice mungkin dimaksudkan untuk menciptakan harmoni, tapi harmoni tidak bisa dipaksakan di atas penderitaan. Tidak ada keadilan yang sejati jika yang disembuhkan hanya wajah hukum, bukan hati korban. Karena keadilan sejati bukan tentang berdamai di atas luka, melainkan memastikan luka itu benar-benar berhenti berdarah. Sebelum kita berbicara tentang “pemulihan”, kita perlu bertanya lebih dalam: apakah korban sudah merasa aman? Apakah suara mereka benar-benar didengar dan dihormati? Apakah sistem sudah benar-benar berpihak pada anak, atau hanya sekadar berusaha menutup perkara dengan rapi?

            Pada akhirnya, keadilan tidak akan pernah bisa hadir hanya melalui tanda tangan di atas berita acara perdamaian. Keadilan adalah keberanian untuk berpihak pada yang lemah, pada suara anak yang tak mampu membela dirinya sendiri. Restorative justice seharusnya menjadi jembatan menuju pemulihan, bukan jalan pintas untuk menenangkan publik atau meringankan beban aparat hukum. Jika sistem hukum benar-benar ingin disebut adil, maka ia harus berani menatap luka itu apa adanya  tanpa menutupnya dengan kata “damai”. Karena kadang, keadilan tidak lahir dari maaf, melainkan dari keberanian untuk mengatakan: cukup sudah, jangan ada lagi yang disakiti dengan cara yang sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun