Mohon tunggu...
Amira
Amira Mohon Tunggu... -

Aku menulis, maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wawancara dengan RA Kartini, 5 November 1899

20 April 2015   22:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14295435091816539858

[caption id="attachment_411440" align="aligncenter" width="600" caption="Raden Ajeng Kartini"][/caption]

Tidak sulit mencari rumah Raden Ajeng Kartini karena ia adalah anak seorang bupati di Jepara. Menunggunya pun tidak terlalu lama. Yang penting, saya sudah bisa berbicara langsung dengan beliau di ruang tamunya, face-to-face.

Ia terkejut dan agak marah ketika saya memperkenalkan diri sebagai penjelajah waktu dari masa depan, tepatnya dari tanggal 20 April 2015. Hari itu adalah Minggu, 5 November 1899 di Jepara. Kedua telapak tangannya menekan bibir meja. Saya tahu, ia akan beranjak pergi meninggalkan saya. Sebelum terlambat, saya dengan sigap dan sopan, bak seorang salesperson asuransi senior, segera membuka dan membeber beberapa helai dokumen di atas meja kayu jatinya yang licin mengilap itu. Ia tercengang melihat selintas gambar dan tulisan di atas kertas-kertas itu, entah karena cetakannya yang indah berwarna atau karena kesan futuristik gambar-gambarnya, seperti gambar kereta api Shanghai Maglev, pesawat tempur F-22 Raptor, atau pakaian-pakaian modis karya Coco Chanel (1883-1971). Saya melihat ketegangan melenyap dari wajahnya, penuh rasa ingin tahu, tapi masih ada kesangsian. Mungkin ia berpikir, ah cuma gambar. Segera saya mengeluarkan Samsung Galaxy S6 128GB andalan saya sambil bilang bahwa fungsi utamanya tidak bisa saya tunjukkan karena tidak ada sinyal dari operator yang belum ada saat itu.

Selama lebih dari setengah jam kami menjadi akrab, tapi terbalik dari tujuan saya semula, bukan saya yang mendapat informasi tentangnya, malah saya yang diminta cerita tentang masa depan. Saya berterus terang kepadanya bahwa saya tidak bisa lama di waktunya karena keterbatasan mesin waktu saya yang belum sempurna. Bisa-bisa saya tidak bisa balik ke tahun 2015. Jadi giliran saya mengajaknya bercakap-cakap tentang keadaan pada masa itu.

“Saya tidak melihat cincin di jari Raden Ajeng, berarti belum menikah ...?”

“Kalau sudah menikah namanya Raden Ayu, bukan Raden Ajeng,” ia memotong pertanyaan saya. Saya telmi sedikit tidak mengapa, karena ia melanjutkan dengan cerita cukup panjang.

“Sesungguhnyalah saya benci perkawinan. Daripada harus kawin, saya memilih melakukan pekerjaan yang serendah-rendahnya yang bisa saya kerjakan dengan rasa syukur dan cinta. Sayangnya saya tidak boleh melakukan pekerjaan seperti itu mengingat kedudukan ayah dalam masyarakat.”

“Saya tidak paham, mengingat Raden Ajeng mampu secara finansial,” saya memancing.

“Dalam ajaran Islam, kaum laki-laki diizinkan kawin dengan empat orang wanita. Dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan apabila suaminya pulang dengan wanita lain sebagai saingan yang harus diakuinya sebagai istri yang sah? Semua perbuatan yang menyebabkan manusia menderita saya anggap sebagai dosa,” matanya yang indah itu berkaca-kaca.

“Segala sesuatu yang tidak setimbang, cepat atau lambat akan menuju ke arah keadaan setimbang,” saya memberi harapan.

“Begitulah, saya selalu berpengharapan baik dan tidak lekas putus asa. Perubahan dalam bangsa ini akan terjadi. Titik baliknya kelak, sudah ditakdirkan. Tapi kapan? Itulah masalahnya. Kita tidak dapat mempercepat jam revolusi. Mengapa kami berada di dalam rimba ini, di daerah pedalaman jauh, di ujung negeri, dan mempunyai pikiran memberontak begitu? Teman-teman saya di sini berkata, bahwa lebih bijaksana bagi kami jika kami tidur dulu seratus tahun, dan begitu bangun, Jawa sudah sampai sejauh yang kami inginkan,” ujarnya berapi-api.

Saya tertegun, saya tahu persis keadaan seratus tahun yang akan datang, tahun 1999. Saya tidak mengatakan apa-apa tentang keadaan setelah seratus tahun itu, hanya kini giliran mata saya yang berkaca-kaca. Wahai para kartini, kapanpun, teruskanlah perjuanganmu, jangan sampai apinya pernah meredup.

Sumber: Surat RA Kartini kepada Nona Estella H. Zeehandelaar, 6 November 1899.

--- ♦♦ ♥ Ω♥ ♦♦ ---


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun