Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sembako yang Tidak Selalu Berarti Sembilan Bahan Pokok

13 Mei 2020   20:36 Diperbarui: 14 Mei 2020   10:42 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja mengemas paket bantuan sosial (bansos) di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Pemerintah menyalurkan paket bansos masing-masing sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan sebagai upaya untuk mencegah warga tidak mudik dan meningkatkan daya beli selama pandemi COVID-19 kepada warga yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Sembako saat ini menjadi kata yang seksi. Sebagai benda atau barang sembako memiliki nilai yang beragam tergantung posisi siapa yang memberi dan siapa yang menerima serta dalam situasi sembako dihantarkan.

Bagi penerima, sembako adalah penyambung nyawa di tengah pandemi. Bagi penyelenggara negara sembako merupakan salah satu alat atau bahan untuk menghadirkan negara di tengah kelompok warga negara yang terpukul akibat merebaknya pandemi.

Bagi komunitas, melalui pemberian sembako ikatan kemanusiaan antar warga direkatkan kembali. Dan jelang event politik, sembako merupakan media sosialisasi bagi figur politik yang ingin meneguhkan identitasnya di memori pemilih.

Ragam pemanfaat keberadaan "sembako" kemudian terkadang membuat kita tidak terlalu peduli lagi dengan pengertian sembako. Kita sering menganggap sembako merupakan kata yang berdiri sendiri untuk mengartikulasikan niat berbagi dengan sesama.

Peristiwa berpindahnya sembako dari pemberi ke penerima bagi kelompok tertentu lebih penting karena pesan yang dikandung dalam peristiwa itulah yang menjadi ukuran.

Tersendatnya pembagian sembako karena label tertentu atau kemasannya yang cocok dengan momen dan tujuan belum cukup tersedia merupakan peristiwa yang perlahan menjadi sesuatu yang lumrah.


Pada kesempatan lain pembagiannya harus dilakukan oleh pejabat tertentu. Belum lagi kalau pembagian sembako yang bersumber dari anggaran negara harus dilengkapi dengan bukti penyerahannya kalau tidak mau dijerat dengan kasus hukum sebagai belanja fiktif.

Ilustrasi (Photo by Oleg Magni from Pexels)
Ilustrasi (Photo by Oleg Magni from Pexels)

Semua kejadian di atas yang melingkungi isu sembako dalam suasana pandemi dewasa ini merupakan sisi teknis dari bagaimana semangat berbagi yang tulus terkadang menjadi sesuatu yang rumit. Dan karena sesuatu yang negatif sering lebih menarik sebagai berita maka penuhlah angkasa dengan liputan media perihal ketidaktepatan pemberian atau pembagian sembako di beberapa tempat.

Kita kemudian menyaksikan betapa ternyata pendataan masih sering menyisakan masalah tentang siapa sebenarnya yang berhak menerima dan siapa yang seharusnya dominan menyediakannya.

Pada sisi pendataan ini, apa boleh buat, kita masih tertatih-tatih mengidentifikasi kondisi setiap warga negara. Kemajuan teknologi informasi dan komputer belum mampu meretas masalah klasik ini. Entah karena kitanya yang belum menguasai atau memahami sepenuhnya potensi dari konsep big data atau karena ada aspek tertentu yang membuat solusi teknologi belum dipakai secara konsisten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun