Bala Puti dengan konstruksi dan penataan tapaknya memiliki cerita yang apabila dibandingkan dengan pembangunan gedung di era-era berikutnya, menyiratkan terdapatnya sesuatu yang kini hilang. Tidak banyak kantor pemerintah di era modern di Sumbawa yang memiliki penataan ruang terbuka yang ideal sebagaimana Bala Puti dibangun. Gempa bumi yang pernah melanda Sumbawa tidak menimbulkan dampak kerusakan berarti terhadap Bala Puti dibanding banyak gedung perkantoran atau sekolah yang dibangun di era modern yang mengalami kerusakan. Teknik pembangunan Bala Puti dianggap sebagai pembeda, bahwa bangunan dari zaman Belanda umumnya kokoh walaupun tidak menggunakan struktur beton bertulang sebagaimana dikenal dewasa ini, karena tidak ada penyimpangan atau kecurangan dalam pelaksanaannya. Kenapa tidak belajar dari cara membangun pada jaman Belanda?
2. Faktor keindahan atau artistik juga sesuatu yang penting. Terdapat naluri dalam diri manusia untuk menjaga sesuatu yang indah yang dibangun dengan ketrampilan dan perhatian penuh pembangunnya. Gerakan konservasi bangunan pada mulanya merupakan respon terhadap model pembangunan gedung yang massal, yang seragam dan tanpa jiwa. Orang kemudian mulai lebih peduli dengan sisi arsitektur dan gaya dari suatu bangunan, tanpa terlalu menganggap bahwa suatu gaya tertentu hanya cocok pada masa tertentu.
Bala Puti yang mengambil inspirasi dari arsitektur Perancis lalu dikombinasikan dengan faktor lingkungan setempat menghasilkan sesuatu yang indah pada masanya. Detail dan konsistensi konsep yang tertuang dalam bentuk bangunan Bala Puti menjadi sesuatu yang indah yang karena pertimbangan finansial dewasa ini seringkali terabaikan. Masa pembangunan yang relatif panjang dipandang sebagai jawaban kenapa Bala Puti tidak dibangun asal jadi. Keinginan untuk melakukan konservasi terhadap bangunan bersejarah, termasuk Bala Puti, mewakili perasaan rindu akan sesuatu yang indah di tengah Kota Sumbawa Besar.
3. Alasan terakhir yaitu faktor sosial merupakan penyebab upaya konservasi menguat. Faktor ini berakar dari perasaaan ketidaknyaman terhadap suatu perubahan dan bentuk perubahan itu sendiri. Faktor ini melandasi perasaan untuk tetap mendapatkan kedekatan dan jaminan dari sesuatu yang berubah.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Bala Puti pernah menjadi situs dan saksi dimana terjadi peralihan kekuasaan tradisional di Sumbawa menuju pemerintahan modern.Â
Melihat masa depan di masa lalu
Melalui UU 11/2010 tentang Cagar Budaya dan kemudian diperkuat lagi dengan hadirnya UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah daerah dan masyarakat mendapat angin segar untuk kembali menoleh, menggali dan memperkuat nilai budaya lokal sebagai bekal pembangunan.
Sebagian kalangan memandang skeptis, bahwa konservasi tidak lebih dari suatu bentuk utopia, mimpi yang tidak masuk akal atau bahkan ilusi kolektif di jaman modern ini. Pandangan ini dibantah oleh Fransesco Bandarin dan Ron van Oers dalam buku mereka, The Historic Urban Landscape, Managing Heritage in an Urban Century (2012), karena keberlanjutan sejarah kota merupakan bentuk ekspresi nilai yang akan mendorong masyarakat untuk menjaga identitas dan kenangan kolektif, serta membantu menjaga perasaan keberlanjutan dan tradisi komunitas.
Restorasi Bala Puti dapat ditempatkan dalam kontek menjaga keberlanjutan identitas dan memori kolektif yang disebut Tau dan Tana Samawa, suatu konsep entitas sejarah yang membentang melintasi waktu dan melampaui batas wilayah administratif Kabupaten Sumbawa saat ini. Keinginan tersebut dalam perumusan kebijakan akan mengharuskan pemerintah untuk mencari keseimbangan antara pengembangan sistem perlindungan dan kriteria yang dapat diterima publik, pada saat yang sama memperluas atau memperkuat apresiasi terhadap keberadaan suatu tinggalan penting. Kedua hal tersebut terkadang bertolak belakang dalam implementasinya. Edward Hobson (2004) dalam Conservation and Planning, Changing Values and Practices menyebutkan bahwa konservasi hanya satu cara dalam berurusan dengan struktur bersejarah. Konservasi sebagian besarnya berhubungan dengan sikap budaya generasi hari ini dalam menentukan bangunan tua tertentu yang harus dilindungi. Tidak berlebihan apabila disebutkan bahwa konservasi suatu warisan sejarah pada dasarnya merupakan bentuk negosiasi antar generasi untuk melakukan transisi dari masa lalu ke masa depan dan karenanya merupakan refleksi dari sikap budaya terhadap masa lalu.
Citra 3d Bala Puti yang lebih interaktif, terutama dari sisi eksteriornya dapat dilihat di sini.
Memandang restorasi Bala Puti adalah meraba transisi warisan generasi Sumbawa masa lalu ke generasi hari ini. Kebijakan yang ditempuh hari ini pada gilirannya akan menjadi bentuk transisi sikap budaya kepada generasi masa depan Sumbawa.Â
Upaya mencari material yang cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi adalah bentuk kesungguhan memberi arti tentang nilai pentingnya suatu warisan yang bernama Bala Puti yang pernah berdiri tegak dalam kota Sumbawa Besar dan sejarah Kabupaten Sumbawa. Rencana pembangunan jangka menengah daerah yang akan disiapkan pada tahun 2020 mendatang akan menjadi salah satu cara dan bentuk pembuktian formal harapan tersebut.