Dunia dan Diri
Pernah nggak sih kalian melihat seseorang yang begitu takut kehilangan kendali, sampai ia berusaha mengatur segalanya, bahkan hal yang sebenarnya di luar jangkauannya? Atau mungkin, kalian malah pernah merasa kalau kadang kita berbuat baik bukan semata karena tulus, tapi karena ingin tetap aman di tengah ketidakpastian? Di balik semua alasan yang terdengar indah, manusia selalu punya naluri yang sama, bertahan. Dan di sanalah sisi paling realistis dari diri kita muncul, saat rasa takut mulai mengalahkan kepercayaan.
Dunia pun bekerja dengan logika yang serupa. Negara-negara membangun kekuatan, mencurigai tetangga, lalu bersekutu hanya jika ada keuntungan yang bisa dibagi. Bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka tahu. Bahwa kepercayaan tanpa kuasa hanyalah ilusi yang mudah runtuh. Kadang dunia terasa terlalu luas untuk kita pahami, tapi juga terlalu sempit untuk benar-benar kita mengerti. Setiap keputusan yang diambil oleh manusia maupun negara pada dasarnya hanyalah cara berbeda untuk mencari rasa aman.
Mungkin itulah mengapa teori-teori hubungan internasional lahir. Ia tidak sekadar menjelaskan kenapa negara berperang atau berdamai, tapi juga bagaimana manusia bertindak ketika dihadapkan pada ketakutan, kepentingan, dan harapan yang saling bertubrukan. Di antara realitas yang keras dan harapan yang rapuh, manusia dan negara sama-sama berusaha bertahan tanpa kehilangan makna.
Antara Kekuatan dan Logika
Dalam dunia yang digerakkan oleh ketidakpastian, kekuasaan menjadi bahasa yang paling jujur. Ia tidak selalu indah, tapi lebih merujuk ke sesuatu yang lebih nyata. Machiavelli menulis dengan kejujuran yang pahit tentang bagaimana manusia dan penguasa sebenarnya bekerja. Bukan dengan moralitas, tapi dengan kebutuhan untuk bertahan. Seperti yang ia tegaskan, “It is better to be feared than loved, if you cannot be both.” Kalimat itu bukan sekadar strategi politik, melainkan pengakuan atas sifat dasar manusia yang selalu berupaya mengamankan dirinya, bahkan jika harus mengorbankan rasa cinta.
Realisme klasik percaya bahwa dunia tidak diatur oleh niat baik, melainkan oleh kalkulasi kepentingan. Kemenangan dan kekalahan bukan perkara benar atau salah, tapi soal siapa yang cukup rasional untuk membaca keadaan. Dalam logika ini, kekuatan adalah bentuk tertinggi dari keamanan. Kenneth Waltz kemudian memperluas pandangan ini melalui realisme struktural. Bahwasanya bukan manusia yang membuat dunia keras, melainkan sistem internasional yang anarkis. Karena sejatinya tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara. Setiap aktor dipaksa rasional, berperilaku seperti makhluk yang sadar bahwa bertahan hidup lebih penting daripada sekadar menjadi baik.
Namun di balik rasionalitas itu, ada kesadaran yang diam-diam menekan. Bahwa dunia yang digerakkan oleh logika murni adalah dunia yang kehilangan ruang bagi kelembutan. Realisme tidak menolak nilai kemanusiaan, tapi menempatkannya di urutan kedua setelah kepentingan, setelah kekuatan. Dan mungkin di situlah letak kejujurannya. Realisme tidak menjanjikan dunia yang damai, tapi mengingatkan bahwa kedamaian hanya bisa lahir ketika kekuatan dipahami, bukan dihindari.
Harapan dan Konsep Ketergantungan
Jika realisme berangkat dari rasa takut, maka liberalisme tumbuh dari keyakinan bahwa manusia dan negara masih bisa belajar mempercayai. Harapan, dalam pandangan liberal, bukan kelemahan, melainkan keberanian untuk tetap percaya pada tatanan di tengah kekacauan. John Locke menulis bahwa “men in a state of nature are free and equal,” dan bahwa kerja sama bisa lahir jika ada kontrak sosial yang disepakati bersama. Pemikiran ini menegaskan kepercayaan pada rasionalitas manusia bahwa di balik kepentingan, ada kemampuan untuk menahan diri dan mencari kesepahaman. Dunia, dalam pandangan ini, tidak hanya arena perebutan kekuasaan, tapi juga ruang untuk menemukan titik temu.
Namun dalam kenyataannya, kepercayaan tidak cukup hanya dengan niat baik. Struktur global modern menuntut mekanisme yang lebih konkret, dan di sinilah neoliberalisme hadir. Robert Keohane dan Joseph Nye melihat bahwa keterikatan antarnegara kini bersifat kompleks, tidak hanya militer, tapi juga ekonomi, teknologi, dan informasi. Negara tidak lagi bertahan dengan menutup diri, melainkan justru memperkuat posisinya lewat saling ketergantungan. Interdependensi menjadi bentuk kekuatan baru, dimana negara yang terhubung lebih sulit untuk saling menghancurkan. Di sini, kapitalisme dan institusi global tidak sekadar alat ekonomi, tapi juga jembatan yang menciptakan stabilitas melalui kepentingan bersama.
Di antara harapan dan rasionalitas itu, selalu ada ruang abu-abu, tempat di mana idealisme diuji oleh realitas. Dunia mungkin tidak pernah sepenuhnya damai, tapi justru karena itulah manusia terus mencoba. Harapan, pada akhirnya, bukan tentang yakin segalanya akan baik-baik saja, melainkan tentang memilih untuk tetap percaya meski tahu segalanya bisa runtuh kapan saja.
Satu Dunia, Empat Kacamata
Empat paradigma besar dalam hubungan internasional—realisme, neorealisme, liberalisme, dan neoliberalisme—lahir dari kebutuhan yang sama, menjelaskan perilaku negara di tengah ketidakpastian global. Keempatnya sepakat bahwa negara adalah aktor rasional yang berusaha bertahan hidup dalam sistem yang tidak sempurna. Namun di balik kesamaan itu, setiap paradigma menafsirkan rasionalitas dan tujuan bertahan dengan caranya sendiri. Realis dan neorealis menilai bahwa rasionalitas terikat pada kekuasaan dan keamanan, sedangkan liberal dan neoliberalis melihatnya dalam upaya menciptakan tatanan yang lebih stabil melalui kepercayaan dan institusi.