Kini, sahabat saya terus berjuang memperbaiki kehidupannya. Dari masa lalunya yang penuh luka, ia belajar untuk menata masa depan dengan cara yang lebih baik. Ia sering berkata, “Aku ingin nanti anakku nggak ngerasain apa yang aku rasain.” Kalimat sederhana itu menyimpan makna yang dalam tentang seseorang yang lahir dari penderitaan, namun memilih untuk pulih dan memutus rantai luka yang diwariskan padanya.
Kita hidup di zaman di mana banyak anak menjadi orang tua bagi keluarganya sendiri. Ini bukan sekadar kisah haru, tapi cermin betapa seriusnya dampak patologi sosial di tengah masyarakat. Ketika peran orang tua hilang, anak dipaksa tumbuh tanpa pilihan. Karena itu, membicarakan fenomena ini bukan untuk menyalahkan, melainkan mengingatkan bahwa penyakit sosial tidak hanya menggerogoti individu, tapi juga masa depan bangsa.
Dan mungkin, sudah saatnya kita berhenti menilai anak-anak yang “terlalu dewasa” sebagai kuat, tanpa melihat betapa keras hidup memaksa mereka untuk begitu.
Referensi:
Kartono, Kartini. Patologi Sosial 1: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2017.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Awaru, A. Octamaya Tenri. Sosiologi Keluarga. Bandung: Media Sains Indonesia, 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI