Di zaman yang katanya serba modern ini, masih banyak anak yang harus menanggung beban orang dewasa. Mereka bukan sekadar membantu, tapi benar-benar menggantikan peran orang tua, bekerja, mengurus adik, dan menjadi penopang keluarga. Fenomena ini bukan hal langka; di lingkungan sekitar kita, kisah-kisah seperti ini terjadi diam-diam, tanpa sorotan media. Salah satu yang saya kenal dekat adalah sahabat saya sendiri.
Ayah sahabat saya dulunya sering mabuk dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Ibunya bekerja keras di tempat pengepakan kardus untuk menghidupi keluarga. Dari tiga anak, dua di antaranya berkebutuhan khusus. Artinya, beban ekonomi dan emosional tertumpu pada sang ibu dan sahabat saya, anak perempuan satu-satunya di keluarga itu. Dalam usia belasan tahun, ia sudah terbiasa menahan sikap buruk sang ayah, menenangkan ibunya saat bertengkar dengan ayahnya, dan berusaha menjadi “dewasa” agar rumah tidak semakin hancur.
Kebiasaan buruk sang ayah seperti mabuk dan marah-marah di rumah bukan hanya bentuk pelarian, tetapi termasuk dalam kategori patologi sosial. Menurut sosiolog Kartini Kartono, patologi sosial adalah gejala-gejala sosial yang dianggap menyimpang dari norma masyarakat dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi orang lain. Dalam kasus ini, perilaku ayahnya bukan sekadar masalah pribadi, tetapi sudah menjadi penyakit sosial yang menular dalam bentuk trauma dan penderitaan psikologis bagi keluarga.
Akibat perilaku tersebut, anak harus mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan orang tua. Ia bekerja, membantu keuangan keluarga, bahkan menjadi tempat curhat ibunya. Fenomena “anak yang menjadi orang tua” ini merupakan bentuk ketidakseimbangan fungsi keluarga. Dalam teori sosiologi keluarga, keluarga memiliki empat fungsi utama: afeksi, sosialisasi, ekonomi, dan perlindungan. Ketika satu atau lebih fungsi itu gagal dijalankan seperti dalam kasus ini, telah terjadi apa yang disebut disorganisasi keluarga. Anak akhirnya kehilangan masa remajanya dan tumbuh dalam tekanan peran yang berat.
Fungsi afeksi berkaitan dengan kasih sayang dan dukungan emosional yang seharusnya diberikan keluarga. Dalam kasus ini, fungsi tersebut terganggu karena ayah yang sering mabuk dan marah, sementara ibu terlalu sibuk bekerja. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi sumber tekanan, sehingga anak kehilangan rasa kasih dan perlindungan emosional.
Fungsi sosialisasi berperan dalam membentuk kepribadian dan nilai sosial anak. Anak belajar norma dan etika dari lingkungan keluarga. Namun, ketika orang tua tidak mampu memberikan teladan, anak kehilangan panduan moral dan akhirnya belajar sendiri melalui pengalaman hidup yang keras. Sahabat saya tumbuh dengan kedewasaan yang terpaksa, bukan karena bimbingan keluarga, melainkan karena keadaan yang menuntutnya untuk kuat.
Fungsi ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Dalam keluarga sahabat saya, fungsi ini tidak berjalan karena ayah tidak bekerja dan penghasilan ibu sangat terbatas. Setelah beranjak dewasa dan cukup umur untuk bekerja, sahabat saya akhirnya mengesampingkan cita-cita untuk kuliah dengan memutuskan untuk bekerja guna membantu keluarganya. Hal ini menunjukkan adanya tanggung jawab yang besar di tengah keterbatasan keluarga, meskipun secara usia ia sudah layak bekerja.
Terakhir, fungsi perlindungan seharusnya membuat anggota keluarga merasa aman secara fisik dan psikologis. Namun, rumah yang diwarnai pertengkaran dan kekerasan justru menimbulkan rasa takut dan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, anak kehilangan perlindungan dan malah harus melindungi dirinya sendiri dari kondisi rumah yang tidak sehat.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak anak muda di Indonesia mengalami hal serupa. Mereka bukan hanya berjuang untuk diri sendiri, tapi juga menjadi tulang punggung bagi keluarga yang rapuh. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak sadar bahwa hidup mereka merupakan akibat dari patologi sosial: kemiskinan struktural, pengangguran, kekerasan domestik, dan kecanduan. Semua itu adalah bentuk-bentuk penyimpangan sosial yang berdampak luas pada generasi berikutnya.
Menariknya, sebagian besar dari anak-anak ini tumbuh dengan karakter tangguh. Mereka belajar mandiri lebih cepat daripada teman sebayanya. Namun di sisi lain, beban itu juga meninggalkan luka batin yang dalam. Mereka sering kali kesulitan mengekspresikan diri, merasa tidak pantas bahagia, atau hidup dalam ketakutan akan mengulangi kesalahan orang tua mereka. Ini bukan hanya masalah pribadi, melainkan tanda bahwa masyarakat kita sedang menghadapi krisis nilai keluarga.
Anak-anak seperti sahabat saya seharusnya tidak perlu menanggung beban itu sendirian. Negara dan masyarakat punya tanggung jawab besar dalam mengatasi akar patologi sosial: menyediakan akses kerja layak, edukasi tentang peran keluarga, serta dukungan bagi korban kekerasan rumah tangga. Peran lembaga sosial, sekolah, dan komunitas juga penting untuk memberi ruang aman bagi anak-anak dari keluarga disfungsional agar tidak kehilangan arah hidupnya.