[caption id="attachment_290217" align="aligncenter" width="300" caption="Gereja Reformed Kemayoran, Sumber:Koleksi Pribadi, telah diuggah di Panoramio.com (http://www.panoramio.com/photo/44949604)"][/caption] Area Eks Bandar Udara Internasional Kemayoran kini adalah kota sunyi. Setidaknya begitulah jika dibandingkan dengan pada umumnya kawasan bisnis di Jakarta. Kesimpulan subjektif saya itu merujuk pada pengalaman setelah kurang lebih 7 (tujuh) tahun mengobok-obok Kemayoran hampir setiap hari sejak awal 2006 sampai akhir 2012. Eks Bandara adalah tempat yang paling sering saya jamah, karena di sanalah lokasi tempat kerja saya berada.
Tidak saja tugas profesi mengharuskan saya mengelilingi kemayoran, namun hobi lari pagi beberapa kali sepekan sebelum memulai pekerjaan membuat saya akrab dengan kawasan ini.
Kawasan Bandara adalah Korban Kapitalisme
Ada rasa sedih melihat kondisi Eks Bandara saat ini. Rasa sedih tersebut sedikit saya dramatisir dengan menyebutnya sebagai korban kapitalisme. Betapa tidak, dari sekian luas area yang dulu diperuntukkan untuk bandar udara internasional, kini sisa-sisanya hampir punah. Masih ada menara pengawas lalulintas airport (Airport Traffic Control Tower) yang sudah mengkhawatirkan, namun terus terang saya belum pernah melihatnya secara langsung karena lokasinya tertutup oleh pagar cukup tinggi.
Merujuk pada artikel tulisan Berty Sinaulan, “Selamatkan Kemayoran”, menara pengawas tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 495 tahun 1993, dengan sebutan “Menara Kemayoran”. Penetapan status sebagai cagar budaya tidak lantas membuat “Menara Kemayoran” aman dari risiko kehancuran, pasalnya sampai saat ini kondisinya semakin meprihatinkan dan tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan kuno itu benar-benar telah ditetapkan salah satu benda cagar budaya di Ibu Kota.
[caption id="attachment_290218" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian Kawasan Eks Bandara, Sumber: http://www.panoramio.com/photo/44949604"]
Adalah satu blok di kawasan itu yang berada di sebelah selatan Arena PRJ sekarang, di sanalah “Menara Kemayoran” itu berada. Posisinya cukup ‘terlindung’ oleh pagar setinggi lebih dari 2 meter yang mengelilingi bidang tanah di blok tersebut dimana "Menara Kemayoran" dibangun. Pagar itu sesungguhnya adalah pengaman beberapa proyek pembangunan yang mangkrak di blok tersebut akibat krisis Asia, termasuk di dalamnya mega proyek “Menara Jakarta” yang direncanakan mencapai ketinggian 558m, tetapi kandas di tengah jalan akibat Krisis Asia tahun 1990 (Wikipedia).
Jangan rancu antara Menara Kemayoran dan Menara Jakarta. Menara Kemayoran adalah bekas Airport Traffic Control Tower, sedangkan Menara Jakarta adalah hight rise building atau bangunan gedung pencakar langit yang rencananya menjadi sebuah pusat bisnis di kawasan eks Bandara, namun sampai saat ini pembangunan pondasinya pun belum selesai dan tak dilanjutkan lagi.
Andai saja krisis Asia itu tidak terjadi, entah bagaimana nasib “Menara Kemayoran” (sekali lagi bukan Menara Jakarta). Bisa jadi telah benar-benar diperlakukan sebagai benda cagar budaya, atau bisa jadi pula telah tergusur oleh bangunan-bangunan komersial baru sebagaimana blok-blok lain di kawasan itu. Karena alasan inilah seperti saya sebut di atas, “Menara Kemayoran” adalah korban kapitalisme.
Lemahnya Visi Sejarah dan Budaya
Jika saja visi sejarah dan budaya lebih dikedepankan, tentulah yang dilakukan adalah mendahulukan penataan kawasan dalam rangka melindungi benda-benda eks Bandara, seperti pendirian museum misalnya. Tidak harus semua area menjadi museum, tetapi sedikitnya blok-blok yang di situ terdapat Menara Pengawas, Bangunan Eks Terminal, dan Runway, didisain sedemikian rupa agar benda-benda yang menjadi ciri khas sebuah bandar udara tetap terpelihara dengan baik. Dengan demikian generasi yang datang di belakang hari bisa mengenang betapa sejarah negerinya adalah perjalanan panjang sebuah bangsa. Sejak awal kemerdekaan para pendahulu negeri telah sadar untuk menempatkan bangsanya sebagai bagian dari warga dunia. Bandar Udara Internasional Kemayoran itulah bukti bahwa sejak awal kemerdekaan, bahkan sebelum kemerdekaan, anak-anak bangsa ini sudah terhubung secara nyata dengan bangsa lain di seluruh dunia melalui pintu masuk bandara.
Mengandung makna pula betapa bangsa ini sudah akrab dengan teknologi transportasi tercanggih ketika Negara-negara tetangganya belum merdeka. Semua itu terekam dengan baik oleh sisa-sisa benda-benda bandara yang diabaikan itu.
Lahan di Eks Bandara menjadi Aset Bisnis
Sejak dihentikannya kegiatan operasional Bandara Kemayoran tahun 1984 dan dibentuknya Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) pada tahun 1999 dengan sebuah Kepres, kawasan eks bandara tak ubahnya asset bisnis yang sangat komersial. Anda semua tahu bahwa yang paling mahal di Jakarta adalah lahan di kawasan strategis. Lahan yang awalnya diperuntukkan bagi bandara dan segala kegiatan pendukungnya, diprospek menjadi kota baru. Lahan tersebut dipetak-petak menjadi blok-blok dan bidang-bidang tanah, kemudian dialihfungsikan untuk kegiatan komersial. Bukan diperjual-belikan memang, namun dipindahkuasakan kepada pihak lain dalam bentuk hak guna di atas hak pengelolaan.
Namun dari pemindahkuasaan tersebut, Negara yang didelegasikan kepada BPKK mendapatkan dana yang nilai setiap bidang tanah mengacu pada NJOPnya. Jadi pada hakekatnya telah terjadi praktek jual beli berjangka, yaitu pihak baru yang mendapatkannya menguasai bidang tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu mengacu kepada hukum pertanahan.
Jika saja visi pelestarian budaya dan sejarah sudah dicanangkan sejak awal, dana yang diperoleh dari pengalihkuasaan bidang-bidang tanah eks bandara tersebut sebagian digunakan untuk mendanai kegiatan pelestarian, termasuk pembangunan museum, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan sejarah penerbangan di eks Bandara Kemayoran. Namun yang terjadi sekali lagi tidak seperti itu. Dana hasil pengalihkuasaan bidang tanah tersebut digunakan untuk kegiatan lain yang public tidak banyak mengetahuinya. Wajar jika kemudian di sana-sini didapati benda-benda eks Bandara terbengkalai tak terurus. Bisa jadi karena untuk hal tersebut tidak dialokasikan dana yang cukup, atau telah dilakukan penyalahgunaan dana pemeliharaan oleh sebagian oknum pengelola kawasan. Semuanya gelap dari pengetahuan public.
‘Penghuni Baru’ Eks Bandara
Bagi yang berkesempatan berkeliling di kawasan eks Bandara, bisa menyaksikan berbagai kantor pemerintah dan swasta tumbuh subur di sana. Tengok saja di deretan jalan Angkasa, dari sisi barat berjajar Gedung Sentra Medika, kemudian Gedung Merpati yang kemudian ‘dijual’ dan beralih kepemilikan menjadi Gedung Basarnas. Berikutnya ada satu lahan yang masih kosong karena belum dikembangkan oleh ‘pemilik’nya sebelum kemudian berdiri bangunan Pusat Kebudayaan Jepang. Sementara itu, berada di deretan belakang blok yang sama ada Gedung Data Script.
Kemudian ada juga agak jauh dari situ, tepatnya di Jalan Industri, sebuah Bangunan Megah Mengesankan yang difungsikan untuk kegiatan ibadah kristiani berjuluk Gereja Reformed Sejati Indonesia.
Beberapa gedung pemerintah ikut memanfaatkan lahan eks Bandara seperti BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), Kantor Wilayah Jakarta Pusat Ditjen Bea dan Cukai, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Kantor Pajak Kemayoran, ada pula sebuah gedung pelayanan kesehatan milik Kementerian Perhubungan, Gedung milik PT Telkom, Gedung Pemadam Kebakaran, dan sebuah kantor Kodim, serta sebuah Gedung Kantor Angkasa Pura I satu blok dengan BMKG.
Di blok yang lain terdapat perkantoran swasta, seperti Askrindo, Kemayoran Tower, Mall Mega Kemayoran (sebelumnya bernama Mega Glodok Kemayoran), dan Indogrosir. Ada pula sebuah bangunan yang konon bantuan dari Negara Brunei, yaitu Nam Center. Lokasi eks Terminal Bandara yang berada di depan Mall (MGK) difungsikan menjadi kantor pengelola yang saat ini bernama Pusat Pengelolaan Kawasan Kemayoran (PPKK) namun konon status tanahnya berada di bawah penguasaan pihak lain.
Masih ada lagi area paling menggiurkan karena menjadi lahan bisnis monumental di kawasan ini, yaitu PRJ atau Pekan Raya Jakarta dan Pasar Mobil Kemayoran. Bisa dibilang nilai perputaran uang paling besar di kawasan ini adalah dari dua pusat transaksi ekonomi ini. PRJ meskipun hajatan akbar hanya diselenggarakn setahun sekali bertepatan dengan ulang tahun Jakarta, yaitu bulan Juni dan Juli, tetapi di bulan lain, Arena Pameran Internasional ini tak pernah sepi dari ajang pameran berbagai produk.
Apalagi Pasar Mobil Kemayoran, yang buka setiap hari tak pernah sepi dari pengunjung. Tak usah disebutkan, semua bisa membayangkan berapa nilai transaksi harian apalagi tahunannya, karena yang dijual bukan lemari atau sepeda, apalagi gorengan. Yang dijual di sini adalah mobil dan segala macam sukucadangnya. Ehm… benar-benar pusat bisnis yang menggiurkan. Dari sini bisa disimpulkan, pengalihfungsian kawasan ini menjadi pusat bisnis telah berhasil dengan sukses. Bukan pusat budaya, dan juga bukan pusat sejarah.
Ciri kapitalisme masih belum selesai diulas. Kita baru membicarakan satu bagian kawasan di sisi barat. Masih ada bagian kawasan sisi timur yang juga berlimpah rupiah. Antara bagian kawasan barat dan timur dibatasi oleh eks Runway Pesawat. Nasib bagian kawasan ini tersebut tak beda jauh dengan bagian kawasan barat, yaitu menjadi lokasi dibangunnya apartemen, pemukiman mewah dan non mewah serta beberapa pusat aktifitas lainnya.
Berturut-turut dari sisi utara ada lapangan golf, kemudian ada cluster perumahan mewah Spring Hills. Ada pula deretan apartemen berbagai klas, mulai dari Taman Kemayoran Condominium (TKC), Lagoon, Palace, dan Boulevard yang berkumpul dalam satu blok. Masing-masing apartemen tersebut bisa terdiri dari beberapa tower, atau sebuah tower besar yang di dalamnya berisi ribuah unit apartemen.
Masih tentang apartemen di kawasan ini, menyusul kemudian apartemen warna hijau Puri Kemayoran dan berikutnya The Boutique Apartemen yang berada satu blok dengan lahan kosong yang belum dikembangkan. Kemudian di blok paling selatan berdiri lebih dari 4 tower Apartemen Palazzo dengan hiasan patung kuda di depannya. Semua apartemen ini berada tepat di tepi eks Runway Bandara dengan hanya dipisahkan oleh jalur hijau antara eks Runway dan pagar apartemen. Kini eks Runway Bandara itu menjadi Jalan Benyamin Sueb yang diambil dari nama putra asli kemayoran multi talent, actor film, comedian dan penyanyi legendaries terkenal Benyamin S.
Jika deretan apartemen tersebut berada tepat di sebelah timur eks Runway Bandara atau Jalan Benyamin Sueb, maka blok-blok atau bidang tanah di sebelah timur deretan apartemen tersebut dibangun berbagai jenis pusat aktifitas. Tak kurang di sana ada Rumah Susun Kemayoran yang segera mengakhiri masa layak pakai karena usia. Ada pula sebuah Rumah Sakit Swasta Ternama, Mitra Kemayoran. Kemudian ada sebuah lapangan tenis, dan sekolah hight class Gandhi International School.
Dan yang terakhir yang tak bisa lepas dari Jakarta adalah pemukiman illegal lagi kumuh. Problem sosial kependudukan yang satu ini sepertinya mejadi trade mark Ibukota. Di beberapa tempat di kawasan ini muncul ‘cluster-cluster natural’ seperti itu yang menyita area yang cukup luas. Seperti misalnya di belakang Apartemen Palazzo sampai jalan Kemayoran Gempol penuh dengan pemukiman warga. Hanya saja pemukiman ini sering diklaim sebagai illegal yang diistilahkan dengan kata “diduduki”. Pada umumnya mereka adalah warga pendatang, namun ada juga warga asli Kemayoran dan keturunannya. Problem sosial pemukiman ‘liar’ tersebut sebagaimana di kawasan lain di Jakarta juga menjadi masalah berat bagi pihak pengelola kawasan dan mengusir mereka benar-benar bukan hal mudah, meskipun jelas-jelas seluruh lahan di kawasan itu menjadi hak pengelola kawasan (PPKK).
Masih ada area lain di bagian kawasan sisi barat, misalnya di jalan Angkasa Raya tepat di depan Kantor PPKK berada yang kini difungsikan sebagai asrama polisi. Masih di blok yang sama ada Terminal DAMRI, Sekolah Kanaan, dan lagi-lagi di situ juga tumbuh ‘zona terlarang’ pemukiman illegal. Namun yang paling menyedihkan adalah keberadaan sebuah bangunan gedung tua yang tidak selesai dibangun yang konon kepemilikannya masih berhubungan dengan Keluarga Cendana. Serta masih satu blok dengan ‘Rumah Hantu’ tersebut terdapat bidang tanah tertutup pagar cukup tinggi yang menurut issue yang berkembang pernah disalah gunakan sebagai arena judi balap mobil-mobilan. Nah,… ternyata begitu banyak problem bermunculan dari kebijakan pengelolaan kawasan ini yang saya lebih suka menyebutnya sebagai kebijakan kapitalis. Entahlah.
Kata Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan Sejarah (Jasmerah)!” Tapi bagaimana dengan Bandara Internasional Kemayoran ini? Silakan Anda sendiri yang menjawabnya.
Salam Kemayoran. Maafkan kami yang untuk mengenangmu pun hampir kehilangan jejak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI