Di mata orang, aku hanyalah guru honorer di sekolah dasar kecil. Tapi bagiku, kelas adalah semesta-ku. Aku mengajar lebih dari sekadar membaca dan menulis; aku menanamkan benih rasa hormat, memperkenalkan keajaiban angka, dan menuntun tangan-tangan kecil untuk memahami bahwa di luar sana ada Tuhan yang Maha Besar dan alam semesta yang luas.
Tugasku ganda: menjadi pengajar, pendidik moral, terkadang psikolog, dan bahkan orang tua kedua bagi lebih dari tiga ratus jiwa muda.
Gajiku? Tak usah dihitung. Jauh dari kata layak, seringkali terlambat, dan tak pernah sebanding dengan lembar kerja yang kubawa pulang atau suara serak karena seharian berbicara. Namun, kebahagiaan sejati kurasakan saat melihat mata seorang anak bersinar karena akhirnya berhasil mengeja kata pertamanya, atau ketika mereka berlari memelukku di pagi hari. dan memanggilku dengan sebutan 'Bapak.. bapak... Bapak"
Tuntutan yang Mencekik.
" Jika seorang guru menegur, itu adalah tanda kepedulian. Jika seorang guru memukul (yang sekarang sudah sangat dilarang), itu adalah tanda didikan keras yang diterima dengan lapang dada.
Kini? Teguran dianggap kekerasan. Disiplin dianggap penghinaan.
Orang tua kini menuntut agar anak mereka tak pernah merasa salah, tak pernah merasa terbebani, bahkan saat mereka jelas-jelas melanggar. Kami, para guru, dipaksa untuk mengajar tanpa boleh mendidik karakter. Kami harus mencetak nilai tinggi, tapi dilarang menanamkan moral.
Kenapa seolah-olah saat ini Dunia penuh terbalik, Kemana model didikan orang tua pada jaman dahulu aku kecil.? Sungguh, panggilan jiwa ini kini terasa patah. bahkan guru sekarang sudah tak lagi dianggap pahlawan tanpa tanda jasa,
penulis. anz
catatan guru
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI