Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi Plagiat Memang Susah Dibasmi

24 Agustus 2018   21:59 Diperbarui: 25 Agustus 2018   10:59 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.plukme.com

Ketika tulisan kita dicuplik habis-habisan, ketika karya kita dijiplak mentah-mentah, ketika tulisan kita cuma diubah sedikit lalu disiarkan dan diakui oleh orang lain, rasa sakitnya sungguh luar biasa.

Geregetan. Gigi atas dan gigi bawah gemeretukan. Rahang dikeraskan oleh rasa kesal luar biasa. Begitulah perasaan yang saya alami saat puisi saya, Pohon Kenangan Pohon Kehilangan, dijiplak bahkan hingga titik-koma oleh teman virtual di Path.

Bayangkan. Kita setengah mati memikirkan apa yang akan ditulis, merancang isi dan bentuk tulisan, membuka kotak ingatan yang kadang berisi luka, memilih-milih kata dan menatanya satu per satu ke dalam kalimat, kemudian orang lain datang dan menyalin tulisan itu. Menyebalkan. Mengesalkan.

Seperti merawat tanaman, menyiram dan memupuknya setiap hari, menjaganya dengan telaten dari serbuan hama, hingga membungkus buahnya agar tidak disambar codet atau kelelawar, lantas menjelang matang ternyata buah itu dipetik dan dicuri oleh orang lain. Buah lezat pun hilang diembat maling.

Begitulah perasaan saya ketika mendapati puisi saya dipajang di akun Path orang lain. Peristiwa itu terjadi pada Desember 2014, empat bulan setelah Pohon Kenangan Pohon Kehilangan saya siarkan di Path. Judulnya sama, isinya sama. Hanya kata "pulau" yang diganti dengan kata "gedung".

Pernah kukira kesendirian itu menyenangkan, hingga kudapati sebuah pulau menahan isak. Sudah lama pulau itu menanggung beban sepi: perih laut menampar-nampar tiap sisinya, getar awan menajamkan senyap penantian, dan camar-camar terkekeh mengejeknya.

Si Plagiator cuma butuh satu kata, gedung, dan puisi saya pun berubah.

Pernah kukira kesendirian itu menyenangkan, hingga kudapati sebuah gedung menahan isak. Sudah lama gedung itu menanggung beban sepi: perih laut menampar-nampar tiap sisinya, getar awan menajamkan senyap penantian, dan camar-camar terkekeh mengejeknya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Enteng sekali. Hanya satu kata yang diubah lantas diakui sebagai karangan sendiri. Hanya dalam hitungan sejam, mungkin cuma setengah jam, orang itu sukses mengarang puisi. Padahal, saya menyusunnya selama berbulan-bulan.

Dengan sedikit polesan, kaum plagiator sudah mengumumkan kepada publik. Kasihan publik yang dibohongi plagiator. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai catut-mencatut karya dan mengacungkan jempol, memuji-muji, bahkan menyanjung-nyanjung si maling kekayaan intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun