Akhirnya saya percaya bahwa aktivitas membaca sangat dipengaruhi oleh selera. Sumber setiap selera pasti perasaan. Itulah sebabnya selera si A berbeda dengan si B. Tidak akan sama, tidak akan serupa.
Tidak beda jauh dengan dunia tulis-menulis. Dunia yang mengawali lahirnya tradisi baca-membaca itu juga dipengaruhi oleh selera penulis. Si C mungkin terbiasa menulis novel sejarah, si D sering mengarang novel fantasi, sementara si E barangkali lebih nyaman menulis novel populer.
Apakah si C harus menepuk dada lantaran ia menyangka novel anggitan si D dan si E lebih rendah nilai sastranya dibanding novel yang ia tulis? Tidak bisa begitu. Baik si C, si D, maupun si E pasti melewati masa-masa serius sebelum, sesaat, dan setelah menulis.
Soal bentuk atau genre yang dipilih itu perkara selera. Novel populer yang digandrungi anak-anak muda, contohnya, tidak bisa kita tuding bacaan bernilai rendah. Selama novel itu punya muatan estetika dan etika, selama novel itu menyuguhkan keindahan dan menawarkan hiburan, selama novel itu mampu menghidupkan imajinasi dan membangkitkan aspirasi pembaca dalam memaknai kehidupannya, mestinya kita tidak meremehkan atau merendahkannya.
"Kamu sudah membaca karya si Anu?" Saya sering gerah kalau ditodong pertanyaan semacam itu. Bukan apa-apa. Pertanyaan itu biasanya diikuti ejekan, cibiran, atau malah makian. "Ia cuma menulis hal-hal yang menyek-menyek!" Atau, "Tulisannya tidak bermutu."
Ajaibnya, pertanyaan yang lebih mendekati pernyataan itu tidak disertai alasan yang jelas mengapa tulisan si Anu dituding "menyek-menyek" atau tidak bermutu. Kalau saya desak pun tidak akan bertemu jawaban yang netral, berimbang, dan objektif.
Sungguhpun kita tidak berselera pada bacaan tertentu, bukan berarti kita merdeka sesuka hati untuk mencela-cela, mengejek-ejek, atau merendah-rendahkan karya orang lain. Walaupun tulisan yang tidak sesuai selera itu kita anggap tidak bermutu, harus ada alasan mendasar mengapa kita melabelinya sebagai "bacaan tidak bermutu".
Saya punya pengalaman menarik semasa kuliah. Kala itu masih semester tiga. Saya sedang getol-getolnya membaca karya-karya Jostein Gaarder, Haruki Murakami, dan Gabriel Garcia Marquez. Saya juga sedang jatuh cinta pada karya-karya Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, dan Djenar Maesa Ayu.
Sekarang, beberapa tahun setelah kuliah saya rampung, kebiasaan saya membaca novel dengan plot berbelit-belit, dengan tokoh bertumpuk-tumpuk, dengan konflik berlarut-larut, dengan udaran sejarah dan ramalan masa depan, tidak kunjung surut, alih-alih berganti selera. Teman-teman sekantor sudah tahu kebiasaan saya yang selalu membawa "bacaan berat" ke mana pun saya pergi.
Ketika melihat saya menenteng sebuah novel populer, mereka kontan tertawa. "Tumben kamu baca novel picisan seperti itu?" Hak saya selaku pembaca sontak merasa dilecehkan, diremehkan, dan direcehkan. Hak saya terasa dibatasi, dikungkung, dan dikekang.
Sekali-sekali saya membaca "tulisan yang saya butuhkan". Kebetulan saat itu saya diminta mendaras novel teman yang berbau roman, remaja sekali, dan sangat tipis. Saya butuh membacanya walaupun novel tersebut tidak tergolong "tulisan yang saya inginkan". Bukankah kebutuhan harus kita dahulukan ketimbang keinginan?