Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Maria dan Tragedi Tradisi

6 Agustus 2018   02:18 Diperbarui: 6 Agustus 2018   02:37 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: pixabay.com

Setelah mengulas novel Aster untuk Gayatri karya Irfan Rizky, saya kembali didaulat di Grup WA Klub Buku Katahati untuk membedah cerpen karya Maria Widjaja. 

Adapun cerpen yang saya ulas adalah Tafsir: Kisah Kasih Tragedi Tradisi. Saya suka cara Maria dalam menyajikan cerita, tentu dengan beberapa catatan. 

Antara jatuh cinta dan mengungkapkan isi hati tidaklah sama. Yang pertama dapat menimpa siapa saja dan bisa terjadi kapan saja, yang kedua tidak serta-merta mampu dilakukan oleh semua orang yang jatuh cinta.

Ringkasan Kisah

Segelintir orang yang jatuh cinta kadang memilih memendam perasaan alih-alih menyatakan kepada orang yang dicintainya. Begitulah yang dialami Baskoro, lelaki bersuku Jawa, yang jadi tokoh utama dalam cerita anggitan Maria Widjaja. Lelaki itu jatuh hati kepada seorang gadis keturunan Tionghoa.

Ia tahu bahwa ia jatuh hati, tetapi ia tidak langsung menyatakan perasaannya. Ada dua alasan. Pertama, perbedaan etnis dan tradisi. Kedua, rentang usia yang jauh berbeda.

Setelah melewati pergulatan batin yang melelahkan, Baskoro akhirnya menyingkap isi hatinya. Namun apa daya, gadis yang ia kasihi ternyata menampik uluran cintanya. Dua alasan yang selama ini memberati pikiran Baskoro ternyata menjadi gara-gara penolakan si pujaan hati. Baskoro tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya pasrah.

Meski begitu, Baskoro tidak patah arang. Ia mulai menjelajahi ingatan tatkala mulai terdedah tirai pembeda etnis--pada peristiwa awal reformasi di tanah air--dan mendatangi tempat-tempat bernuansa etnis Tionghoa.

Cinta memang harus diupayakan, bukan didiamkan. Bukan sekadar mengulik harapan yang mengusik ingatan, melainkan sekalian membuka tabir kesadaran atas perbedaan.

Beberapa Catatan bagi Maria

Plot yang digunakan Maria dalam menata cerita termasuk alur maju. Namun, pada beberapa bagian terdapat kilas balik. Maria menggunakan patokan kilas balik lewat kalimat "peristiwa tujuh belas tahun lalu". Pijakan alur cenderung "menyesatkan pembaca" karena beberapa penggalan cerita tidak disajikan lewat narasi yang mendetail.

Adapun pijakan alur yang dapat menyesatkan pembaca adalah 1) pijakan latar waktu "setelah pembicaraan yang sia-sia" tidak dideskripsikan hingga akhir cerita sehingga tidak jelas pembicaraan apa yang sia-sia itu, mengapa pembicaraan itu dianggap sia-sia, dan bagi siapa pembicaraan itu berasa sia-sia; dan 2) pijakan latar sejarah yang ditandai ungkapan "peristiwa tujuh belas tahun lalu" tidak diuraikan secara terperinci, terutama kaitan emosional secara langsung dengan Baskoro atau gadis pujaan Baskoro.

Karakter atau tokoh yang tampil dalam cerita anggitan Maria terkesan misterius. Hanya ada dua tokoh yang punya nama, yakni Baskoro dan Lani. Bahkan Lani adalah tokoh yang sudah meninggal dan hadir dalam percakapan antara Baskoro dengan pemilik kedai di Pecinan. 

Selebihnya, tokoh tanpa nama. Seperti Ibu Baskoro, teman Baskoro yang mengirim pesan pendek, perempuan pujaan Baskoro, Satpam penjaga Toko Merah, dan Ibu pemilik kedai di Pecinan.

Pada satu titik, penokohan seperti itu dapat menguatkan cerita. Akan menjadi sebuah "kekuatan pengisahan" andai kata cerita ini dijuduli Cerita dengan Tokoh-tokoh Tanpa Nama. Pada titik berbeda, justru dapat melemahkan cerita. Keunggulan data yang dituturkan lewat narasi menjadi kabur lantaran kehadiran tokoh-tokoh tanpa nama.

Tidak, saya tidak bermaksud jahat. Ini sebentuk kritik atas karya Maria yang apik. Namun, judul tajaannya kurang menarik. Kurang ya, bukan "tidak menarik". Penjudulan cerita biasanya bertolak dari alasan supaya pembaca tertarik atau punya daya pikat. Permainan asonansi dan aliterasi pada judul justru menyulitkan pelafalan. Akibatnya justru sukar dieja alih-alih memikat pembaca.

Alasan lain sebuah penjudulan cerita adalah supaya mudah diingat. Saya waswas jangan-jangan judul pilihan Maria ini termasuk "yang sukar diingat". Adapun judulnya adalah Tafsir: Kisah Kasih Tragedi Tradisi. Permainan asonansi dan aliterasi pada judul itu memang keren, tetapi menyulitkan lidah.

Kelebihan utama cerita suguhan Maria adalah sajian data yang dikemas dengan baik. Ini menunjukkan keseriusan Maria dalam bercerita. Ada riset serius, ada tilikan tajam, ada gagasan yang dituangkan ke dalam cerita. Bekal seperti itu tidak dimiliki oleh pencerita terkini--yang malas riset, gagap dalam menuangkan gagasan, dan tergesa-gesa mengakhiri cerita.

Kekurangan utama cerita anggitan Maria adalah lemahnya latar dan karakter. Kelemahan latar tampak pada latar waktu dan sejarah. Peristiwa yang diangkat tidak jelas kapan terjadinya. Adapun kelemahan karakter atau penokohan tampak pada karakter tokoh protagonis, Baskoro, baik karakter fisik maupun psikis. Begitu pula dengan tokoh lain.

Satu-satunya munculan narasi penokohan adalah pada gadis pujaan Baskoro yang digambarkan sering memperbaiki poni yang mengumbai di dahinya. Sementara karakter berupa kebiasaan Baskoro cuma digambarkan sepintas lalu pada narasi sebelum ia berangkat bekerja.

Keunggulan data yang dituangkan dengan apik ke dalam cerita memang mengayakan pembaca, namun alirnya sederas sungai. Tidak ada bendungan untuk menahan ketika data meluap. Jika tidak diantisipasi dengan baik, data akan menjadi serupa luapan sungai yang membanjiri benak pembaca. 

Untunglah Maria cukup cekatan menahan arus deras data yang ia miliki sehingga pembaca tidak dibanjiri rupa-rupa informasi yang memudarkan cicit cerita.

Beberapa Saran bagi Maria

Ada beberapa hal teknis yang perlu dibenahi Maria, terutama dalam menyajikan tulisan. Berikut saya tuturkan sedikit saran perbaikan.

Pertama, berhati-hati dalam menggunakan --nya. Harus diperhatikan, -nya digunakan sebagai kata ganti milik. Perhatikan kalimat ini: Baskoro mulai berkhayal untuk menutup malam ini dengan mengecup keningnya yang tersembunyi di balik helaian rambut yang mengambai hingga alisnya.

Kalimat ini diawali dengan subjek Baskoro, diikuti kata ganti kepemilikan pada "mengecup keningnya" dan "alisnya". Artinya, -nya merujuk pada Baskoro selaku subjek kalimat. Nah, bagaimana Baskoro mencium keningnya sendiri?

Saran perbaikan: Baskoro mulai berkhayal untuk menutup malam ini dengan mengecup kening gadis pujaannya yang tersembunyi di balik helai-helai rambut yang mengambai hingga alis.

Kedua, terang benderang dalam merangkai narasi. Mestinya ada uraian gambaran soal "setelah pembicaraan yang sia-sia" pada akhir cerita sehingga tidak ada bolong penceritaan. Kenapa harus di akhir cerita? Tentu saja supaya menjadi bagian yang dirahasiakan, seperti trik Agus Noor yang disampaikan dalam Kelas Menulis Fiksi di Katahati Production.

Ketiga, menghindari penggunaan kata takbaku dalam deskripsi. Sungguhpun Maria cukup telaten dalam memilih dan memakai kata baku, ternyata masih ada yang terlewat. Misalnya menghembuskan (mengembuskan), Insinyur (insinyur, bukan /i/ kapital), rationalitas (rasionalitas), bercengkrama (bercengkerama), feminim (feminin), dimana-mana (di mana-mana), putraNya (putra-Nya; huruf kecil bertemu huruf kapital diberi tanda hubung).

Keempat, menghindari penggunaan ungkapan dan frasa yang berlebihan. Sepanjang cerita, Maria berkali-kali menjelaskan sesuatu yang sudah jelas, misalnya menengokkan kepala (menengok sudah pasti kepala), kancingi kemeja (mestinya kancingkan kemeja atau mengancingkan kemeja), era dimana kebebasan (era ketika kebebasan, era saat kebebasan), memenangkan hati (memikat hati, memenangkan berarti 'membuat sesuatu jadi menang'), tatapannya masih berkelindan pada (tatapannya masih tertuju pada; berkelindan itu erat menjadi satu).

Kelima, deskripsi konflik tidak disusun seperti dialog drama. Konflik batin (konflik internal) Baskoro disajikan dengan model dialog drama atau teater, mestinya dibuatkan narasi saja supaya konsisten sejak awal kisahan. 

Akan lebih apik seandainya Maria mencoba pola penumpahan gagasan brilian lewat dialog dan, andaikan mau, menggambarkan karakter tokoh lewat dialog. Kritikus Adinan karya Budi Darma dan Kunang-kunang di Manhattan anggitan Umar Kayam bisa dijadikan contoh. Jadi, gagasan objektif pengarang tidak harus dituangkan di narasi.

Moga-moga ulasan ini berguna bagi kita semua. Akhirnya saya mengucapkan selamat kepada Maria. Terus menulis, Kak Maria.

(Amel Widya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun