Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia telah lama menjadi salah satu kebijakan kesehatan masyarakat yang penting. Program ini bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, menjaga kesehatan ibu dan anak, serta meningkatkan kesejahteraan keluarga (Arifin, 2014). Penggunaan kontrasepsi sebagai bagian dari program KB terbukti memberikan dampak positif terhadap kesehatan, tetapi dalam praktiknya juga memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
    Dari sisi pro, KB memiliki manfaat nyata bagi kesehatan masyarakat. KB membantu mengatur jarak kehamilan sehingga kesehatan ibu lebih terjaga. Kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat dapat meningkatkan risiko komplikasi, seperti perdarahan pasca persalinan, anemia, hingga kematian ibu. Dengan adanya KB, ibu memiliki waktu cukup untuk memulihkan kondisi fisiknya sebelum kehamilan berikutnya (Hartanto, 2017). Selain itu, KB juga mendukung kesehatan anak. Jarak kelahiran yang teratur memungkinkan orang tua memberikan perhatian penuh terhadap tumbuh kembang anak, mulai dari pemberian ASI eksklusif hingga pemenuhan gizi, yang berdampak pada penurunan risiko stunting.
    KB juga berperan menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Penggunaan kontrasepsi efektif dapat menekan angka kehamilan yang tidak diinginkan, serta risiko kehamilan pada usia terlalu muda atau terlalu tua yang rentan terhadap komplikasi. Hal ini mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs) khususnya dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Mujahidin, 2021). Manfaat lainnya adalah memberikan kesempatan lebih luas bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja tanpa harus terbebani oleh kehamilan berulang.
    Namun, di sisi lain, KB menimbulkan kontra. Sebagian masyarakat masih menilai KB bertentangan dengan norma budaya dan agama. Pandangan ini muncul karena KB dianggap membatasi keturunan, padahal sebagian masyarakat memandang anak sebagai karunia yang tidak seharusnya diatur. Selain itu, kontrasepsi berbasis hormonal dapat menimbulkan efek samping seperti gangguan siklus menstruasi, kenaikan berat badan, hingga perubahan suasana hati (Rahman, 2022). Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya risiko tertentu jika kontrasepsi digunakan jangka panjang tanpa pengawasan medis.
    Kontra lain adalah masih kuatnya mitos mengenai KB, misalnya anggapan bahwa penggunaan KB dapat menyebabkan infertilitas permanen. Kurangnya edukasi membuat masyarakat enggan menggunakan KB meskipun bermanfaat (Hartanto, 2017). Akses terhadap layanan KB juga belum merata, khususnya di daerah pedesaan dengan keterbatasan fasilitas kesehatan, sehingga masyarakat sulit memperoleh pelayanan kontrasepsi yang aman.
    Melihat adanya pro dan kontra, penyelesaian masalah ini memerlukan pendekatan bijaksana. Edukasi komprehensif sangat diperlukan agar masyarakat memahami manfaat dan risiko KB. Tenaga kesehatan perlu memberikan konseling individual sehingga setiap pasangan dapat memilih metode kontrasepsi sesuai kondisi kesehatan, kebutuhan, serta keyakinan mereka. Pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan layanan KB yang merata hingga daerah terpencil, agar seluruh lapisan masyarakat memperoleh manfaat program KB (Mujahidin, 2021).
    Kesimpulannya, KB memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesehatan masyarakat, terutama dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak, serta meningkatkan kualitas hidup keluarga. Namun, tantangan berupa persepsi negatif, efek samping, dan keterbatasan akses masih perlu diatasi. Dengan edukasi tepat dan pelayanan kesehatan yang merata, program KB dapat terus menjadi strategi utama dalam menciptakan masyarakat sehat, sejahtera, dan berkualitas.
KATA KUNCI: Keluarga, Kesehatan, Kontrasepsi, Masyarakat, Reproduksi
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. (2014). Kebijakan Keluarga Berencana di Indonesia 1970-1980: Studi Kasus di Kabupaten Sleman. Avatara , 2(3), pp. 1–10.
Hartanto, W. (2017). Determinan Pemakaian Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Indonesia. Berita Kedokteran Masyarakat , 33(12), pp. 601–608.