Mohon tunggu...
Amelina Junidar
Amelina Junidar Mohon Tunggu... Guru - Guru SD Islam Al Azhar 67 Bukittinggi

Nama pena Elina Ajrie. Ibu rumah tangga. Hobi coret-coret semenjak kelas 3 SD. Sudah memiliki sekitar 6 buku puisi solo dan 20 antologi cerpen-puisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngefans Kok Sama "Plastik", Nggak Bisa Diuraikan Itu!

2 April 2023   06:24 Diperbarui: 2 April 2023   06:52 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara tentang plastik, bukan rahasia umum lagi kalau di Negeri Ginseng sana rata-rata orang melakukannya. Bukan untuk kesenangan duniawi semata, namun lebih daripada itu. Kaji dulu bagaimana tekanan hidup di sana, perjuangan para pelajar dari pagi sampai malam belajar lembur, bahkan tak jarang ada yang menginap pula di sekolah demi untuk mencapai target tertentu yang memang sudah ditetapkan sedemikian berat. Selepas masa sekolah, ketika kembali ke masyarakat, mereka akan menerima tempelan tempelan stereotype mengenai cantik putih jelek ganteng, baik itu di tempat kerja paruh waktu atau di kantor sekalipun. 

Yang cantik dan ganteng diberikan sedikit privilege daripada yang berpenampilan apa adanya. Penekanan streotype inilah salah satu yang membuat warga negara Korea Selatan, entah itu artisnya atau masyarakat biasa, melakukan sesuatu dengan wajah mereka, terutama, demi mendapatkan penerimaan yang sama dalam masyarakat. Siapa yang tidak ingin diperlakukan sebagai manusia oleh sesama manusia, pasti semua ingin. Tak ada yang mau dibedakan apalagi berdasarkan stereotype tertentu. 

Lalu muncul pembelaan dari kaum anti. Dunia itu memang keras. Tekanan itu ada di mana-mana. Jadi hidup memang penuh dengan tekanan. Iya, betul, tapi tidak sekeras di sana, kompasioner. Itulah makanya Korea menjadi negara urutan pertama dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Nah lho, masih bersikeras dunia itu memang keras? Tekanan hidup yang ada di sana memungkinkan orang sampai kepada fase di mana lelah itu bukan hanya sekadar lelah tenaga, tetapi sudah memasuki fase lelah hidup, yang pada akhirnya lebih baik diakhiri daripada merasa hidup tapi mati.

Lelah hidup inilah yang biasa dikenal dengan istilah depresi atau stres. Dikutip dari berbagai sumber, depresi ini adalah pembunuh warga negara nomor 4 di dunia. Bahkan per tahun 2019, sekitar lebih dari 700.000 orang per tahun meninggal akibat bunuh diri. Lebih lanjut, hal ini diprediksi akan meningkat lebih serius dari tahun ke tahun. Satu lagi pendapat yang menguatkan adalah review Q dan A yang ada pada video seorang youtuber Jawa-Korea yang lebih populer dengan Korea Roemit. 

Ketiga interviewee di sana, yang notabene memiliki darah Korea, menyatakan bahwa memang di Korea semua serba ada dan mudah dari segi fasilitas, namun berbanding terbalik dengan kebahagiaan yang terpancar. Indeks kebahagiaan hidup di Korea, utamanya Korea Selatan, itu hanya sekitar 50-60 persen. See?

Jujurly ya kompasioner, saya termasuk satu di antara penggemar yang akan memasang wajah menyebalkan jika mendengar frasa seperti di atas. Bagaimana tidak, setiap orang tanpa terkecuali, sah-sah saja memiliki idola yang sesuai dengan perspektif masing-masing tanpa harus diganggu gugat dengan hukum dan pandangan orang lain. 

Jadi, tidak usah mencaci maki atau melabeli apa yang disukai orang lain, karena sebagai  manusia yang memang katanya sudah diciptakan dalam bentuk paling baik, kita tetap punya kekurangan, baik sebagai orang yang mengidolakan ataupun idola itu sendiri. Namanya juga manusia, makhluk yang bisa berdiri di antara dua karakter; syetan dan malaikat.

Pertama kali, ketika duduk di bangku SMA, seorang teman yang maniak memperkenalkan saya pada dunia K-pop. Sifatnya yang antusias membuat semua orang di sekitar mau tak mau memperhatikan setiap substansi pembicaraan. Jadilah saya satu di antaranya yang tertarik lalu menyelami profil mereka di dunia maya. Mulai dari mendowload fotonya sampai pada video dance atau lagunya via warung internet. Awalnya, saya akui, memang ketampanan itu memiliki magnet yang utama, namun semakin lama semakin dalam tentu akan banyak penggalian yang berujung tepuk tangan.

Sebut saja Choi Siwon, salah satu idol yang memang terlahir dengan sendok emas di mulutnya. Namun lihatlah faktanya, apakah keturuna darah biru dan kekayaan keluarganya membuat Siwon berleha-leha saja lantas ongkang ongkang kaki? Tidak. Bahkan ia tidak masuk dalam manajemen perusahaan atau menjadi pewaris tahta sebagaimana sering disaksikan dalam drama-drama. Ia tetap punya mimpi untuk mengembangkan sayap sendiri, tanpa memanfaatkan kepopuleran atau nama besar orang tua yang sudah lebih dahulu malang melintang, walaupun dalam skala yang berbeda. 

Ada lagi Sungjae BTOB, yang akhirnya dijuluki diamond spoon (bukan sendok emas lagi ya, kompasioner) karena dari kakek nenek hingga sang ayah sudah mendirikan fondasi kokoh untuk beberapa bisnis yang tak perlu diragukan lagi. 

Dikutip dari beberapa sumber, ayah Sungjae merupakan seorang CEO perusahaan manufaktur, sang kakek merupakan pionir ikan mas pertama, lalu sang nenek yang mengoperasikan 5000 tempat pemancingan. Wow. Tapi apa yang dilakukan Sungjae? Senada dengan Siwon, ia tidak mau hanya menelan makanan dari sendok emas saja. Keduanya berjuang keras untuk diakui dalam dunia entertainment Korea Selatan dengan membintangi sederet drama, film, dan program televisi lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun