Pilar Terlupakan dalam Kualitas Perangkat Lunak
Dalam dunia rekayasa perangkat lunak, istilah "maintainability" atau kemudahan pemeliharaan sering kali luput dari perhatian saat fokus utama pengembangan adalah fitur dan fungsionalitas. Namun, sebagaimana disorot oleh Arthur-Jozsef Molnar dan Simona Motogna dalam studi mereka yang mendalam, maintainability justru menjadi penentu jangka panjang terhadap keberlangsungan, efisiensi, dan kualitas dari perangkat lunak, khususnya dalam konteks proyek-proyek open-source.
Studi Empiris pada Tiga Proyek Open-Source
Studi ini menempatkan maintainability sebagai pilar utama dalam siklus hidup perangkat lunak, sejajar pentingnya dengan keamanan, performa, dan keandalan seperti yang digariskan dalam standar ISO 9126 dan ISO 25010. Ketiga model kuantitatif yang dianalisis dalam studi ini --- Maintainability Index (MI), ARiSA, dan SQALE --- memberikan spektrum perspektif yang saling melengkapi tentang bagaimana kode sumber berevolusi dan seberapa mahal "utang teknis" yang ditimbulkannya.
Mitos yang Ditepis
Apa yang menjadi temuan penting dalam studi ini? Pertama, korelasi antara ukuran perangkat lunak dengan kemudahan pemeliharaannya tidak sekuat yang diasumsikan banyak orang. Dengan kata lain, perangkat lunak besar tidak serta merta lebih sulit dipelihara. Ini membuka wacana baru bahwa kompleksitas fungsional bukan satu-satunya faktor penentu maintainability --- arsitektur kode, modularitas, dan kualitas desain berperan lebih besar.
Titik Kritis dalam Evolusi Maintainability
Kedua, lonjakan signifikan dalam maintainability lebih sering disebabkan oleh versi "milestone" --- saat perubahan besar diperkenalkan, seperti restrukturisasi arsitektur atau penambahan fitur besar. Namun, studi ini juga menunjukkan bahwa refactoring yang tepat bisa mengimbangi akumulasi kompleksitas, bahkan dalam kondisi penambahan kode besar. Kasus TuxGuitar versi 1.0rc1 menjadi contoh terbaik, di mana refactoring masif berhasil menjaga maintainability tetap tinggi meski fungsionalitas meningkat.
Fokus pada Paket Kritis
Ketiga, maintainability bukanlah karakteristik yang menyebar merata dalam seluruh basis kode. Sebaliknya, studi ini menemukan bahwa sebagian besar "biaya pemeliharaan" terkonsentrasi pada sejumlah kecil paket dalam proyek, menandakan bahwa identifikasi dan intervensi pada hotspot maintainability adalah strategi efektif dan efisien. Ini menekankan perlunya analisis granular, bukan hanya di tingkat sistem, tetapi hingga ke level paket bahkan kelas.
Kekuatan dan Keterbatasan Tiga Model Maintainability
Namun demikian, studi ini juga menyoroti keterbatasan dari model-model maintainability itu sendiri. MI, misalnya, meskipun populer dan mudah dihitung, cenderung mengabaikan karakteristik pemrograman berorientasi objek seperti kohesi dan coupling. ARiSA memiliki cakupan metrik yang lebih luas, namun terlalu kontekstual untuk perbandingan antar proyek. Sementara itu, SQALE --- yang mengadopsi pendekatan pengukuran utang teknis --- terbukti paling fleksibel dan praktis untuk evaluasi maintainability di berbagai tingkat, meskipun juga tidak bebas dari kritik, seperti risiko false positive dalam hasil analisisnya.
Maintainability sebagai Strategi Keberlangsungan Proyek
Opini saya, studi ini mengingatkan bahwa maintainability bukan sekadar soal keindahan kode atau dokumentasi yang rapi, melainkan investasi strategis yang menentukan umur panjang sebuah proyek. Di dunia open-source yang sangat bergantung pada kontribusi sukarela dan pergantian kontributor, maintainability menjadi kunci keberlangsungan. Proyek yang mudah dipelihara akan lebih mudah diwariskan, diadopsi, dan diperluas. Sebaliknya, proyek yang sulit dipahami dan rumit akan cepat ditinggalkan meskipun fungsinya dibutuhkan.
Menuju Budaya Pengembangan yang Berkelanjutan
Lebih jauh, temuan dari studi ini seharusnya menginspirasi praktisi dan pengembang perangkat lunak untuk mengintegrasikan pemantauan maintainability sejak awal dalam proses pengembangan. Bukan hanya melalui penggunaan alat bantu seperti SonarQube atau plugin ARiSA, tetapi juga melalui budaya rekayasa perangkat lunak yang menghargai kualitas arsitektur, refactoring berkala, dan desain berorientasi pada keberlangsungan.
Maintainability Bukan Pilihan, Tapi Keniscayaan
Akhir kata, menjaga maintainability bukanlah tugas satu kali, melainkan komitmen jangka panjang. Studi Molnar dan Motogna menegaskan bahwa dengan pendekatan analitis, tooling yang tepat, dan perhatian berkelanjutan terhadap kualitas kode, maintainability dapat dikelola --- bukan sekadar dipantau. Dalam konteks revolusi digital yang terus berkembang dan kompleksitas sistem yang makin meningkat, maintainability bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.
Referensi
Molnar, A.-J., & Motogna, S. (2020). A study of maintainability in evolving open-source software [Preprint]. arXiv.Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI