Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Melihat Wajah Guru Honorer di NTT

24 Mei 2019   21:39 Diperbarui: 25 Mei 2019   23:32 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang guru honorer di NTT - Dokumentasi Pribadi

Bupati Flores Timur, Anton Hadjon, dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke Kota Kupang sempat menegaskan, Kabupaten Flores Timur pada 2018 akan menjadi contoh paling sempurna dari program "Indonesia Terang". Tentu ucapan ini bisa diukur dengan mengunjungi dusun Oring Bele Gunung ini.

Hari itu, kami sempat berkunjung ke beberapa kawan gurunya, mengobrol sambil minum tuak yang disuguhkan. Seorang guru lelaki, teman minum kami, mengatakan kalau dia pun digaji Rp 300-400 ribu sebulan. Itupun tidak diberikan tiap bulan. Tapi tiga bulan sekali. "Saya sudah 9 tahun mengabdi di sini," katanya.

Saya membayangkan kehidupannya selama sebulan adalah ujian maha berat. Apalagi lelaki itu telah beristri. "Di sini, kami mengabdi dengan tulus. Tapi kalau tidak diperhatikan, kami sengsara juga," katanya lagi.

Banyak hal yang kami bicarakan, dan kadang saya merasa menyesal karena mengajak mereka mendirikan sebuah komunitas baca di sekolah ini. Kami minum beberapa lama, dan pulang. Besoknya, kami akhirnya mendirikan komunitas baca di tempat itu, Komunitas Bao Langu. Mereka, dua orang guru bergaji Rp 300 ribu itu adalah pendirinya.

Perjalanan saya hanya dua hari itu menyisakan permenungan yang dalam. Begitu banyak guru honorer digaji dengan angka yang sangat tidak manusiawi. Mereka menghabiskan pendidikannya, berusaha bekerja, namun upah yang mereka peroleh pun tidak sebanding dengan keringatnya.

Untuk memahami sikap diam guru honorer di Flores Timur, para lulusan sarjana yang mau kerja begitu saja tanpa adanya kepastian upah yang layak, ada beberapa kemungkinan sekaligus alasan, salah satunya adalah budaya "gelekat" (saya mengulas ini dalam tulisan "Gelekat Lewo dan Kesejahteraan Guru").

Untuk orang Flores Timur, gelekat (mengabdi, membangun lewo tana/kampung) adalah sebuah konsep mengabdi yang sangat familiar. Orang-orang akan rela mengabdi dengan bayaran sangat rendah, jika pengabdian itu dianggap sebagai gelekat. "Gaji kecil tidak mengapa, asal gelekat," ujar banyak orang yang saya jumpai dalam hidup saya.

Ibukota Provinsi

Di ibukota provinsi, Kota Kupang, setahun setelah mengunjungi sekolah sahabat saya itu, saya diajak seorang fotografer asal Jakarta mengunjungi sebuah sekolah.

Awalnya kami berencana meliput kasus "Topan", namun karena istri Topan keberatan, kami urungkan niat itu. Topan sendiri adalah seorang warga biasa yang dituduh melakukan pembunuhan. "Kompas telah menulis 'Polisi Bunuh Polisi'," kata fotografer itu.

Akhirnya, kami menerima tawaran Marsel (sopir yang selalu membantu kami) untuk mengunjungi SD Kristen Kuasaet, di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun