Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Bukan Camera Obscura

6 Mei 2022   14:34 Diperbarui: 6 Mei 2022   15:11 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah demokrasi (Dokpri)


Sistem
demokrasi yang dianggap paling paripurna. Sistem yang dinilai terbaik dari sistem pemerintahan lainnya. Bahkan di negara maju, negara modern, sampai negara terkebelakang menggemari demokrasi. Begitu kuat daya tariknya, seperti magnet.

Pada beberapa studi kasus, memang demokrasi yang sekali lagi hanya instrumen tidak memberi garansi adanya kesejahteraan untuk rakyat. Demokrasi memberi clue agar kedaulatan rakyat menjadi panglima. Dari oleh dan untuk rakyat.

Dari implementasi, ternyata tidak seindah konseptualnya. Demokrasi malah tidak sedikit melahirkan bencana bagi rakyat. Faktanya, sistem demokrasi diterapkan dengan menghasilkan sejumlah kemiskinan pada rakyat.

Itulah sebabnya demokrasi jangan dijadikan Camera Obscura "ruang gelap". Seharusnya demokrasi menjadi cahaya. Pengarah jalan pada rakyat untuk menuju ruang terang. Demokrasi berfungsi menjangkau, menyinari dan menerangi rakyat yang dalam posisi gulita.

Paling tidak, praktek demokrasi sebagai Camera Obscura, bahasa Latin, di Indonesia masih terlihat. Para pengusaha pemilik modal, kelompok kepentingan yang hasrat politiknya tinggi selalu memainkan itu. Dari cara kerja demikian kita sering mendengar istilah konsensus atau konspirasi kamar kecil. Permainan elit, oligarki begitu menentukan.

Dari komunikasi politik yang tertutup, membuat proses demokrasi seperti Pilkada dan Pilpres yang belum ada hasilnya akhirnya, mereka telah mengetahuinya terlebih dahulu. Mereka pengaturnya. Untuk urusan-urusan itu mereka punya sejumlah alternatif pilihan.

Plan A, B, C, D, E, dan seterusnya. Bahkan bisa menjadi A+, B+, C+, atau sebaliknya, -A, -B, -C, dan lain-lain. Selalu saja begitu, mereka geng oligarki punya banyak skema. Maka yang dikhawatirkan rakyat ialah ketika elit mulai bersepakat menentukan kandidat Kepala Daerah atau kandidat Presiden.

Kalau sudah bersepakat mereka, proses demokrasi hanya menjadi formalitas. Hilirnya mereka sudah mengetahuinya. Para calon yang dipertarungkan telah diatur. Siapa yang melawan siapa. Lalu siapa yang menang, kemudian yang kalah dapat konsesi politik apa. Sudah diatur semuanya.

Sedikit merujuk pendapat Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, untuk kekuatan politik di Indonesia sendiri terdapat empat geng "in power". Yakni geng Solo, geng Makassar, geng Pejaten, dan geng Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.

Segala macam kemungkinan dipertimbangkan dan disiapkan. Kontestasi politik betul-betul disulap. Rakyat dibuat berjalan dalam ruangan gelap demokrasi. Segelintir orang inilah yang memiliki kuasa luar biasa untuk mengatur.

Rakyat di pelosok yang tidak mengerti apa-apa, malah dibuat bermimpi pulas. Bahkan sebagiannya dijadikan korban. Ketika yang direncanakannya gagal, lalu pilihannya ada settingan chaos. Rakyat dijebak dalam konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun