Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buah dari Desentralisasi, Sindrom Putra Daerah Bermunculan

9 April 2022   22:15 Diperbarui: 9 April 2022   22:20 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, kue kekuasaan (Dok. Dunia pendidikan.co.id)


Tidak sedikit otonomi daerah melahirkan dampak negatif. Konsepsi desentralisasi malah disalahtafsir masyarakat. Terlebih spirit primordial. Ada sindrom kedaerahan yang begitu membahayakan. Putra putri daerah atau kaum pribumi merasa patut diistimewakan.

Sindrom diasosiasikan dengan penyakit atau gangguan kesehatan tertentu. Dalam konteks sosial, sindrom akibat semangat mengapresiasi otonomi daerah berlebihan. Hasilnya terlahirlah disparitas. Diskriminasi terjadi dihampir semua dimensi.

Baik dalam ranah politik. Perekrutan PNS/ASN, hingga terkait rolling jabatan yang dilakukan pemerintah daerah. Alhasil, semua kebijakan pemerintah daerah menjadi kapitalisasi politik. Pihak yang tidak mampu berkompetisi terbuka mengkerdilkan tafsir otonomi daerah yang luas pada ruang mengutamakan putra, putri daerah.

Bahkan muncul interprestasi bahwa mendahulukan putra putri daerah dalam pembangunan di daerah tertentu merupakan kewajiban. Sebuah pemikiran yang sempit. Pendapat tersebut sejatinya tidak dikehendaki dari semangat otonomi daerah. Masyarakat terpolarisasi dalam isu sektarian tersebut.

Kondisi ini lebih banyak dihembuskan lawan politik. Atau mereka yang takut bersaing secara profesional. Senjatanya adalah putra putri daerah jangan dianak tirikan. Tidak boleh putra putri daerah menjadi tamu di rumah sendiri. Jauh dari harapan sebenarnya.

Sebetulnya jika menggunakan parameter ego kedaerahan, tidak harus menggerogoti dan merampas seluruh ruang demokrasi kemasyarakatan. Kesetaraan, keadilan, serta kesamaan sebagai masyarakat Indonesia mesti diterapkan. Perlakuan dikotomis, merasa paling superior di daerah tertentu perlu dihentikan.

Perspektif dan perlakuan sindrom putra putri daerah inilah yang membuat pembangunan terhambat. Menyebabkan suatu daerah sulit mengalami kemajuan. Karena sentimen putra putri daerah merasa paling berhak diutamakan membuat kualitas pembangunan suatu daerah diabaikan. Tidak menjadi perhatian.

Semangat memprioritaskan putra putri daerah sebetulnya melahirkan dilema. Bagaimana ketika putra putri daerah tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk standar kepemimpinan publik, misalnya. Begitupun untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian, profesionalisme spesifik. Tidak boleh serampangan.

Merasa putra putra daerah saja tidak cukup. Tanpa mempertimbangkan kualitas, mutu, dan daya saing. Apalagi ini era keterbukaan, Indonesia termobilisasi pada desa global. Yang membuka tirai, membuka sekat kompetisi. Era kompetisi kualitas, lalu melahirkan kolaborasi yang holistik.

Otonomi daerah tidak meminta lahirnya social anxiety disorder atau fobia sosial. Dimana gangguan kesehatan mental seperti paradoks kemuliaan hak-hak kaum pribumi. Ego primordial sesungguhnya tidak membawa dampak kebaikan bagi Indonesia.

Bagaimana tidak, ketika seluruh masyarakat Indonesia berfikir sama bahwa putra putri daerah harus diutamakan dalam pembangunan sebuah daerah. Maka, hasilnya pembangunan dalam dimensi luas akan bermasalah. Konsolidasi demokrasi juga akan terhambat. Penghambatnya ialah masing-masing masyarakat di daerah merasa sebagai raja di daerah masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun