Mohon tunggu...
Amaranggana Ratih Mradipta
Amaranggana Ratih Mradipta Mohon Tunggu... Lainnya - history graduates, bachelor of literature

culture, culinary, events and travel enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kembali ke Batavia

28 September 2022   08:54 Diperbarui: 28 September 2022   09:07 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian depan Museum Fathillah (sumber: dokumen pribadi penulis)

Masih melanjutkan plesiran saya di ibukota, saya melanjutkan perjalanan naik KRL menuju Jakarta Kota. Ini baru pertama kalinya saya ke Jakarta Kota, dan melihat rel kereta mentok, atau buntu. Wah, hanya dengan melihat arsitekturnya saja, saya berasa dibawa kembali ke masa kejayaan Batavia. 

Saya kemudian berjalan kaki ke kawasan kota tua, sayangnya saat saya berkunjung, kawasan kota tua di sekitar stasiun Jakarta Kota sedang direnovasi, sehingga saya tidak bisa mendapatkan foto yang estetik. Kota Tua siang itu cukup sepi, kalau tidak salah saya berkunjung hari Rabu, sehingga memang tidak begitu ramai. 

Tiket masuk ke Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta ini hanya Rp. 5.000 sebenarnya, namun harus menggunakan kartu JakLingo. 

Saya, yang bukan dari Jakarta dan belum pernah memiliki kartu ini harus membeli seharga Rp. 35.000 dengan isi kartu Rp. 25.000. Sebenarnya kartu ini bisa digunakan untuk beberapa fasilitas lain, seperti masuk ke beberapa kawasan wisata, tol, bahkan untuk KRL dan MRT pun juga bisa. 

Anda juga bisa menyewa tour guide untuk menemani anda dalam tur ini. Semuanya gratis, dan tour guide ini ada banyak sekali, mereka juga ramah-ramah. Namun untuk kali ini, saya ingin berkeliling sendiri.

Seperti namanya, Museum Sejarah Jakarta ini memaparkan sejarah Jakarta dari masa prasejarah hingga kemerdekaan. Pada masa prasejarah, Jakarta masuk dalam wilayah kebudayaan Buni yang teridentifikasi sejak tahun 400SM hingga awal abad masehi. 

Kebudayaan gerabah ini pertama ditemukan di Desa Buni, Kecamatan Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Ada pula display peninggalan kebudayaan Buni dan peninggalan kebudayaan Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara ini berdiri sekitar abad ke-4 hingga ke -7M. Ibukota kerajaan ini bernama Sundapura yang diperkirakan berada di Bekasi sampai Jakarta bagian utara.

Lapangan Kota Tua dilihat dari Museum Fatahillah (sumber: dokumen pribadi penulis)
Lapangan Kota Tua dilihat dari Museum Fatahillah (sumber: dokumen pribadi penulis)

Bagian atas, atau ruangan inti dari bangunan ini adalah yang selama ini saya sangat ingin kunjungi. Melihat halaman luas Kota Tua dari jendela ini saya berasa seperti Nona Belanda sedang melihat ramainya Kota Batavia. Wah, ini benar-benar melebihi ekspektasi saya. Tajuk sejarah selanjutnya adalah bagaimana orang-orang Asing menemukan Jakarta sebagai satu 'kampung' yang besar. 

Ada juga display sensus tahun 1930 tentang tiga penyebutan penduduk kota Jakarta, yang pertama adalah Orang Jakarta yang mewakili seluruh keragaman demografi Jakarta, sampai saat ini. Kedua, adalah Orang Betawi, atau suku asli dari Jakarta. Betawi sendiri datang dari penyebutan 'Batavia'. Menurut Dr. Yasmine Zaki Shahab, ada empat kelompok Orang Betawi:

1. Betawi Tengah, yang mendiami wilayah Jakarta Pusat.

2. Betawi Pinggir, yang mendiami daerah (yang dulu merupakan) pinggiran kota, yaitu sekitar Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pasar Minggu sampai Grogol Petamburan. 

3. Betawi Udik, yang mendiami wilayah batas administrasi Jakarta, seperti Tangerang, Cengkareng, Pondok Gede dan Bekasi.

4. Betawi Pesisir, yang mendiami pinggiran pantai Jakarta.

Selain menjelaskan mengenai sejarah Jakarta, juga ada display dari berbagai peninggalan masa VOC dan Belanda. Salah satunya yang sangat menarik bagi saya adalah lemari buku 'Schepenkast' yang memiliki ukuran 477 x 478 cm, atau hampir 5 meter, dan terbuat dari kayu jati! 

wah, kalau saya punya lemari itu di rumah saya, mungkin luasnya sudah satu ruangan sendiri, kira-kira berapa jumlah buku yang bisa saya simpan di lemari tersebut ya? Ada pula display mengenai kebudayaan Betawi, seperti perhiasan pengantin wanita khas Betawi, wah cantik sekali! Ada pula lukisan JP Coen dan Sultan Agung, serta kronologi penyerangan Batavia oleh kerajaan Mataram Islam, membuat saya getir sekaligus takjub.

Museum ini juga memiliki fasilitas perpustakaan, sayang sekali apabila saya memiliki banyak waktu disini, saya akan sempatkan mengunjungi perpustakaan juga. 

Saya sempat bertanya kepada tour guide di dekat kantin, dari Museum Fatahillah juga menyediakan tur Kampung Tua, wisata malam museum, dan menonton film jadul di sinema Fatahillah, namun tentu minimal 10-20 peserta. 

Terkadang juga ada pentas seni budaya Betawi yang diadakan di lapangan Kota Tua, wah nampaknya menarik sekali.

Selesai melakukan tur, sebenarnya saya ingin bersantai di kawasan terbuka di belakang Museum Fatahillah ini, namun tentu saja niat ini saya urungkan sebab saya pergi sendiri, yang ada saya malah nanti mengobrol dengan kucing. 

Saya langsung ke bagian depan Museum Fatahillah untuk melihat langsung kemegahan salah satu peninggalan Belanda ini dengan mata kepala saya, bukan dari buku, maupun dari televisi. Lagi-lagi, apabila saya membawa gandengan, saya akan menyewa sepeda dan berkeliling di sekitar Kota Tua, hunting foto untuk laman instagram saya.

Namun, saya sarankan bagi anda yang ingin mengunjungi museum ini, lebih baik sejak pagi atau menjelang sore. Sebab, saya berkunjung pukul 2 siang, ketika matahari masih gagah, udaranya cukup panas dan gersang, sehingga kurang nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun