Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoal Fenomena SDM Rendah: Apa yang Sebenarnaya Terjadi?

10 Februari 2025   10:20 Diperbarui: 10 Februari 2025   20:07 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini muncul fenomena baru di tengah masyarakat terkait stempel "SDM rendah" dalam hiruk-pikuk media sosial. Debat mengenai kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia kembali mengemuka akibat maraknya tontonan yang menunjukkan kebodohan secara vulgar di dunia maya. Dari tren standar TikTok yang tidak mendidik, tawuran yang terus berulang, hingga fenomena truk terguling yang kemudian dijarah, semua ini menjadi gambaran bagaimana degradasi intelektual semakin nyata. Bahkan, dalam video wawancara yang dilakukan oleh influencer terhadap siswa SMA dan mahasiswa mengenai pertanyaan dasar seperti siapa Bapak Pendidikan Nasional atau nama negara di Benua Eropa, banyak jawaban yang ngawur dan di luar nalar. Terlepas dari apakah video tersebut hanya settingan, kolom komentarnya tetap dipenuhi dengan kritik tajam dan ujaran negatif yang menyoroti rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.

Kritik keras pun datang dari berbagai pihak, termasuk Rocky Gerung yang menyoroti bahwa rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia hanya setara dengan kelas 1 SMP. Indeks rerata IQ nasional yang berada di angka 78 serta skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang konsisten berada di peringkat bawah menjadi indikator lain dari rendahnya kualitas intelektual bangsa. Namun, lebih dari sekadar angka, fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam dunia pendidikan, pola yang terus dipelihara, bahkan strategi yang tampaknya disengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Dari perspektif Dietrich Bonhoeffer, kebodohan bukanlah sekadar kurangnya pengetahuan, melainkan kehilangan otonomi berpikir. Kebodohan yang dipelihara bukan kecelakaan sejarah, tetapi alat kekuasaan. Jika rakyat terus dibiarkan bodoh, mereka akan lebih mudah dikendalikan. Jika masyarakat hanya bisa melihat sebatas layar ponsel dan tidak pernah mempertanyakan realitas sosialnya, maka mereka tidak akan melawan ketidakadilan. Inilah realitas yang terjadi hari ini: penguasa tidak membutuhkan rakyat yang cerdas, mereka hanya memerlukan rakyat yang cukup bodoh untuk tetap tunduk tetapi cukup pintar untuk tetap produktif secara ekonomi.

Pendidikan di Indonesia, alih-alih menjadi alat pembebasan, justru semakin terperosok dalam pusaran industrialisasi yang menitikberatkan pada keterampilan kerja semata. Kurikulum yang sering berubah tanpa arah jelas, pembelajaran yang berorientasi pada hafalan tanpa pemahaman kritis, serta guru-guru yang kurang mendapat pelatihan mumpuni semakin memperparah keadaan. Ditambah dengan mahalnya biaya pendidikan yang membuat akses terhadap ilmu berkualitas semakin terbatas bagi kelompok miskin, ketimpangan ini menjadi semakin nyata.

Jika kita menilik lebih jauh, kondisi ini bukan sekadar akibat sistem pendidikan yang buruk, tetapi juga hasil dari pola ekonomi-politik yang disengaja. Pierre Bourdieu dalam teorinya mengenai kapital budaya menjelaskan bahwa pendidikan sering kali menjadi alat untuk mereproduksi ketimpangan sosial. Mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas akan terus mendominasi, sementara kelas bawah dibiarkan mengandalkan pendidikan seadanya yang tidak benar-benar membebaskan mereka dari lingkaran kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan dalam sistem ini lebih banyak melahirkan pekerja yang patuh dibandingkan individu yang berpikir kritis.

Kembali pada fenomena yang terjadi di media sosial, semakin jelas bahwa kebodohan bukan sekadar hasil dari kegagalan sistem pendidikan, tetapi juga dari disrupsi teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai. Generasi muda lebih tertarik pada konten-konten instan yang viral daripada membaca buku atau mencari wawasan yang lebih mendalam. Algoritma media sosial yang hanya menyajikan konten sesuai dengan selera pengguna juga memperparah situasi, menciptakan echo chamber di mana kebodohan terus direproduksi tanpa ada mekanisme koreksi yang memadai.

Lalu, bagaimana jalan keluar dari permasalahan ini? Solusinya tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah semata. Memang, reformasi pendidikan mutlak diperlukan, termasuk peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, serta penyediaan akses pendidikan yang lebih merata. Namun, peran masyarakat juga sangat penting. Orang tua perlu lebih aktif dalam mendampingi anak-anak mereka agar tidak terjerumus dalam konten-konten yang merusak. Gerakan literasi juga harus lebih digalakkan agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks dan memiliki pemahaman yang lebih luas tentang dunia.

Di tengah berbagai tantangan ini, satu hal yang harus kita sadari adalah bahwa kebodohan bukanlah nasib, melainkan hasil dari sistem yang bisa diubah. Jika kita ingin Indonesia keluar dari stigma "SDM rendah," maka kita harus mulai dengan membangun budaya berpikir kritis. Sebab, hanya dengan masyarakat yang sadar dan cerdas, bangsa ini dapat keluar dari lingkaran ketertinggalan yang terus membelenggu.

Teori Kuda Mati dan Sistem Pendidikan Indonesia: Sebuah Kebuntuan yang Berulang

Dalam dunia manajemen, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "teori kuda mati" (Dead Horse Theory). Prinsipnya sederhana: jika seekor kuda mati, tidak peduli seberapa keras kamu mencambuknya, kuda itu tidak akan bangkit. Namun, alih-alih mengganti strategi, banyak organisasi memilih untuk mencambuk lebih keras, memberi bonus pada penunggangnya, atau bahkan mengganti joki dengan harapan kuda mati itu kembali berlari.

Sistem pendidikan di Indonesia adalah kuda mati yang terus dicambuk. Kurikulum direvisi berkali-kali, menteri berganti setiap beberapa tahun, program-program baru diklaim sebagai terobosan, namun hasilnya tetap sama: kualitas sumber daya manusia (SDM) stagnan atau bahkan menurun. Lebih dari itu, sistem ini tidak pernah benar-benar dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih untuk mencetak tenaga kerja murah bagi industri. Pendidikan hanya dijadikan alat produksi kapitalisme, bukan sarana pemberdayaan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun