Jika di negara Israel, padang gurun yang gersang berhasil disulap jadi lahan hijau yang subur, maka di NTT sendiri khusus di wilayah kabupaten Kupang, lahan yang sebenarnya berbatu karang berhasil disulap jadi kebun pepaya yang segar dan subur.
Begitulah kira-kira setidaknya perbandingan [tidak] 'setara' yang saya simpulkan setelah menjelajah kebun milik seminari tinggi St. Kamillus-Kupang, tepatnya di wilayah Oeltua.
Bagaimana tidak, hamparan yang penuh berbatu karang tersebut justru berhasil disulap sedemikian rupa hingga menjadi sebuah areal perkebunan pepaya yang subur dan berbuah lebat.
Areal yang luasnya kurang lebih 2 hektar tersebut adalah milik salah satu komunitas biara Katolik yakni seminari St. Kamillus de Lellis pada tahun 2020 yang lalu.
Kehadiran komunitas biara tersebut tentunya membawa keuntungan tersendiri bagi warga lokal setempat.
Tentunya tidak hanya dalam konteks kemudahan dalam hal pelayanan sakramen melainkan juga secara khusus dalam konteks ekonomi yang salah satunya adalah melalui pembukaan areal perkebunan.
Apabila berkaca pada realitas kehidupan masyarakat setempat, sebagian besarnya masih hidup dalam kondisi yang sederhana, dengan sebagian besar dari mereka mengadu nasib melalui usaha ternak mikro.Â
Usaha ternak ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka, namun hasilnya seringkali tidak menentu.
Sementara itu, sebagian lainnya bergantung pada hasil kebun dengan mengolah lahan yang penuh dengan batu karang untuk ditanami komoditas musiman seperti jagung dan jambu mete dengan hasil panen yang selalu tidak stabil.
Berkaca pada realitas inilah, komunitas yang lazim disebut dengan biara Camillian tersebut berani berinisiatif dengan membuka areal perkebunan untuk ditanami ribuan pohon pepaya.
Mereka berani membeli lahan seluas 2 hektar dengan kondisi dipenuhi dengan batu karang dan aneka tanaman liar dari warga setempat.