Term "kampung" selain sebagai wilayah pemisah antar kota juga sebutan lainnya sebagai daerah "pinggiran". Ciri khas kehidupan di dalamnya sangat banyak, sebagai pembeda dengan kota.Â
Seperti masyarakatnya saling hidup dalam berkelompok, relasi sosial sangat tinggi, sangat kental dengan budaya (adat-istiadat) dan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Jika dibandingkan dengan kehidupan kota yang kaya dengan gedung-gedung tinggi (apartemen) dan masyarakanya cenderung individualitas, justru kekayaan yang dimiliki oleh penduduk di kampung adalah kebersamaan.Â
Segala sesuatu mesti dibentuk melalui kebersamaan, terutama dalam hal upacara seperti adat (perkawinan, kematian, dan lain sebagainya).
Baca: Kebersamaan yang Mesti Dilestarikan
Sebagaimana halnya yang terjadi di kampung Wontong, desa Rego, kecamatan Macang Pacar-Manggarai Barat. Ciri kebersamaan yang dimaksud sangat mencolok. Sekalipun dari segi ekonomi masih jauh di bawah rata-rata akan tetapi dari segi kesosialan masyarakatnya jauh di atas rata-rata.
Sebut saja misalnya, ketika terjadi peristiwa perkawinan dari sebuah keluarga. Warga kampung keseluruhannya turut terlibat (berpartisipasi) melalui tenaga dan materi (uang dan hewan).Â
Hal ini sudah menjadi kebiasaan umum di bawah payung (kriteria) adat. Pihak-pihak yang paling berperan di sini yakni woe (keluarga besar dari pengantin pria) dan anak rona (keluarga besar dari pengantin wanita).
Dalam relasi antara woe dan anak rona, memiliki batasan-batasan yang tegas. Seperti pihak woe memandang anak rona sebagai yang "tertinggi" (dalam konteks adat).
Untuk itu, woe patut menghormati mereka dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti sida (bisa dilihat sebagai kewajiban materi bisa juga dilihat sebagai bentuk partisipisi pihak woe kepada anak rona sebagai simbol bahwa mereka merupakan bagian terpenting dari pihak anak rona terutama dalam upacara adat yang membutuhkan material dan moril).Â