Mohon tunggu...
Konstan Aman
Konstan Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebersamaan yang Mesti Dilestarikan

18 Januari 2021   19:08 Diperbarui: 18 Januari 2021   19:20 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara mengenai masyarakat kampung, hal yang paling penting untuk ditelisik adalah realitas kehidupan yang kerap menjadi keunikan di dalamnya. Tentunya ada beraneka macam hal yang menjadi ciri khas warga kampung seperti: hidup di desa, sebagaian besar bermata pencaharian sebagai petani, memiliki kehidupan sosial yang sangat tinggi, relasi kekeluargaan dan persaudaraan yang cukup kental dan memiliki latar belakang kelompok suku yang beranegaragam namun menyatu dalam kultus adat istiadat atau tradisi yang sama.

Salah satu keunikan yang patut untuk ditelaah lebih jauh dari corak hidup warga kampung adalah budaya hidup kebersamaan yang bersifat hospitalitas. Dalam filsafatnya Paul Rocoer hospitalitas merupakan sebuah respek dalam hubungan dengan eksistensi akan yang lain. Atau tanpa yang lain saya tidak bisa apa-apa.

Sebagai contoh dalam habitus praktis yang kerap dialami oleh warga kampung terutama di kampung Sowang, Loha, Manggarai Barat, Flores-Indonesia adalah menyapa setiap orang yang numpang lewat di depan rumah. Entah siapa saja baik yang dikenal maupun yang belum dikenal bila nongol depan rumah pasti selalu disapa atau bahkan dipersilahkan mampir. Sekedar untuk ngopi bareng, bincang-bincang dan sebagainya. Keramah-tamahan akan terwujud bila sedang bersama yang lain.

Menyitir Paul Ricoer di atas bila ditafsirkan secara empirik hemat saya akan jauh lebih cocok bila disandingkan dalam bidang kehidupan lainnya di kampung. Menjadi kenyataan umum bahwa sebagian besar masyarakat kampung itu adalah identik dengan petani. Sekalipun memiliki profesi lain namun tetap saja bertani adalah pekerjaan dasar. Oleh karena diidentikan dengan petani maka bertani ala warga kampung tentu jauh sangat terbelakang bila dibandingkan dengan bertani ala Jepang, Cina atau di Eropa yang disokong oleh teknologi canggih. 

Bisa dikatakan modal besar corak pertanian di kampung adalah kebersamaan atau unity. Praktis kebersamaan ini dapat dilihat sejak pembabakan lahan baru, yang dibutuhkan adalah bekerja bersama-sama dari sesama petani alias "dodo"secara bergilir sesuai kesepakatan bersama pula. 

Secara leksikal term "dodo" merupakan salah satu istilah orang Manggarai yang berarti bekerja bersama-sama atau gotong royong secara spontanitas. Misalnya dimulai dari kebunnya si A sampai selesai kemudian berikutnya di kebunya si B sampai selesai dan berlanjut sampai semuanya rampung. Begitu pun kalau sudah mulai menanam sampai pada musim panen tiba selalu mengedepankan prinsip dodo tersebut. 

Lalu bagaimana dengan upah?

Berbicara mengenai upah dari hasil kerja dodo sama sekali tidak ada. Karena prinsip utamanya adalah keadilan. Artinya setiap orang yang ambil bagian di dalamnya sama-sama bertujuan yang sama yakni membuka lahan kebun baru. Namun kecuali pada saat musim panen seperti panen jagung atau padi, setiap orang yang ambil bagian di dalamnya akan mendapat sebagian dari hasil komoditi tersebut sesuai takaran yang ditentukan secara adil oleh pemilik kebun.

Ket. membuka kebun baru dengan dodo (dokumen pribadi)
Ket. membuka kebun baru dengan dodo (dokumen pribadi)
Dari ranah pertanian kita berlanjut ke ranah sosial. Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu kekayaan terbesar dari pola hidup masyarakat di kampung adalah ketergantungan sosial yang sangat kental. Corak hidup yang sangat sosial ini selalu dibentuk atas dasar kebersamaan dengan yang lain dalam masryarakat.

Persis sebagaimana kebersamaan dalam lingkup sosial di kampung di mana saya bermula yakni di Sowang, Manggarai Barat terbentuk dari prinsip dasar budaya Manggarai pada umumnya yakni: kope oleh todo kongkol. Jika pepatah lama dalam bahasa Indonesia menyebutkan "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh", maka bagi kami masyarakat kampung Manggarai istilah kope oleh todo kongkol merupakan pepatah adat yang bermakna semirip.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun