Mohon tunggu...
amanda safira
amanda safira Mohon Tunggu... mahasiswa

halo

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Teori Sosial dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Indonesia

25 September 2025   08:40 Diperbarui: 26 September 2025   08:06 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/search/group%20of%20people/

Menurut saya, teori sosial tidak boleh hanya berhenti sebagai konsep akademis di ruang kuliah. Di Indonesia, teori sosial justru harus diposisikan sebagai alat kritis untuk membaca realitas yang sering kali tidak adil. Kehidupan masyarakat kita sangat kompleks, penuh keberagaman, tetapi juga sarat dengan kesenjangan. Oleh karena itu, memahami teori sosial penting agar kita tidak sekadar menerima kondisi apa adanya, melainkan bisa mempertanyakan dan mencari jalan keluar dari persoalan sosial yang terjadi.

Saya melihat teori struktural fungsional memang relevan untuk menjelaskan keteraturan dalam masyarakat. Namun, pendekatan ini sering membuat kita terjebak dalam pemahaman bahwa semua elemen sosial berjalan harmonis, padahal faktanya tidak selalu demikian. Di Indonesia, banyak lembaga sosial justru tidak menjalankan fungsinya secara optimal. Misalnya, pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pemerataan justru kerap melahirkan ketidaksetaraan karena akses dan kualitas yang berbeda antarwilayah. Di sinilah saya merasa teori ini perlu dipandang dengan kritis, bukan sekadar diterima.

Di sisi lain, teori konflik bagi saya lebih jujur dalam menggambarkan realitas Indonesia. Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum, hingga perebutan sumber daya alam adalah konflik nyata yang terjadi setiap hari. Kita sering menyaksikan bagaimana kelompok yang lemah harus berhadapan dengan kekuatan modal dan politik yang besar. Jika hanya melihat masyarakat dari kacamata harmonis, kita akan menutup mata dari kenyataan bahwa banyak ketidakadilan yang sengaja dipelihara demi kepentingan kelompok tertentu.

Saya juga berpendapat bahwa teori interaksionisme simbolik sangat penting dalam konteks budaya Indonesia. Kita adalah bangsa yang penuh simbol dan makna, mulai dari bahasa daerah, pakaian adat, hingga ritual keagamaan. Sayangnya, simbol-simbol ini sering dipermainkan oleh elit politik untuk membangun citra atau kepentingan sesaat. Misalnya, penggunaan simbol budaya dalam kampanye politik kadang hanya sebatas alat retorika, bukan cerminan penghargaan yang tulus terhadap keragaman. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa teori sosial bukan sekadar menjelaskan, tetapi harus digunakan untuk mengkritisi manipulasi simbol di ruang publik.

Ketika berbicara tentang globalisasi, saya merasa teori modernisasi sering kali dipuja tanpa melihat dampaknya secara mendalam. Memang benar, digitalisasi membawa banyak manfaat, tetapi tidak semua kelompok masyarakat bisa menikmatinya secara adil. Kesenjangan digital antara desa dan kota misalnya, menunjukkan bahwa modernisasi di Indonesia masih timpang. Bagi saya, teori sosial seharusnya membantu kita mempertanyakan: apakah modernisasi yang terjadi benar-benar membawa kemajuan untuk semua, atau hanya memperlebar jurang ketidaksetaraan.

Saya juga cukup sepakat dengan teori ketergantungan yang menjelaskan bagaimana negara berkembang terjebak dalam dominasi global. Indonesia masih bergantung pada investasi asing dan impor teknologi, sementara kemandirian ekonomi belum sepenuhnya tercapai. Menurut saya, ini adalah kelemahan struktural yang terus berulang. Selama kita tidak mampu membangun basis produksi dan teknologi sendiri, kita akan terus berada dalam posisi yang rentan. Teori sosial membantu kita melihat bahwa ketergantungan ini bukan sekadar pilihan, tetapi hasil dari struktur global yang memang tidak seimbang.

Opini saya, teori sosial akan sia-sia jika hanya dijadikan bahan diskusi akademis. Ia harus turun ke lapangan, menjadi lensa kritis dalam merumuskan kebijakan dan menilai arah pembangunan. Misalnya, ketika pemerintah merancang program bantuan sosial, teori konflik dapat mengingatkan agar kebijakan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu. Ketika pemerintah mendorong digitalisasi, teori modernisasi bisa membantu mengevaluasi siapa yang benar-benar mendapat manfaat dan siapa yang tertinggal.

Pada akhirnya, saya meyakini teori sosial adalah kompas moral dan intelektual bagi bangsa ini. Dengan menggabungkan perspektif struktural, konflik, simbolik, modernisasi, maupun ketergantungan, kita bisa membaca realitas Indonesia secara lebih jujur. Teori sosial tidak harus dianggap rumit, melainkan harus dijadikan senjata untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan masyarakat yang lebih setara. Jika teori sosial hanya berhenti di ruang seminar, maka ia kehilangan makna. Tetapi jika ia menjadi panduan bagi kritik sosial dan kebijakan, maka Indonesia bisa bergerak menuju perubahan yang lebih adil dan inklusif.

Ditulis Oleh :

Amanda Safira, Angga Rosidin, S.I.P., M.Ap. Zakaria Habib Al-Ra'zie, S.I.P., M.Sos. Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang - Kampus Serang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun