Sulawesi Selatan kini menghadapi tantangan kesehatan masyarakat yang semakin mengkhawatirkan dengan meningkatnya kasus HIV secara signifikan. Data terbaru dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa hingga September 2024, tercatat 1.636 kasus HIV baru yang tersebar di seluruh wilayah provinsi. Angka ini menempatkan Sulawesi Selatan di peringkat ketujuh nasional dalam hal penemuan kasus HIV, sebuah posisi yang menuntut perhatian serius dari seluruh stakeholder terkait. Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, M. Ishaq Iskandar, menegaskan bahwa peningkatan ini tidak hanya mencerminkan penyebaran virus yang meluas, tetapi juga menunjukkan keberhasilan program skrining masif yang dilakukan pemerintah daerah.
Melihat tren perkembangan lima tahun terakhir, pola peningkatan kasus HIV di Sulawesi Selatan menunjukkan fluktuasi yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2020, tercatat 1.517 kasus HIV yang kemudian melonjak menjadi 1.881 kasus di tahun 2021. Puncak tertinggi terjadi pada tahun 2022 dengan 2.575 kasus, sebelum mengalami penurunan menjadi 2.098 kasus pada tahun 2023. Meskipun angka 2024 tampak menurun dengan 1.636 kasus hingga September, namun jika diproyeksikan secara annual, kemungkinan akan kembali menembus angka 2.000 kasus. Tren ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan yang telah dilakukan belum mampu menekan laju penyebaran secara konsisten.
Profil demografis penderita HIV di Sulawesi Selatan menunjukkan pola yang sangat mengkhawatirkan, dimana 69 persen kasus atau 1.129 orang terjadi pada kelompok usia produktif 25-49 tahun. Konsentrasi pada usia produktif ini memiliki implikasi serius terhadap pembangunan sosial dan ekonomi daerah, mengingat kelompok ini merupakan tulang punggung perekonomian dan pembangunan keluarga. Ditambah dengan 24 persen kasus yang terjadi pada kelompok usia 15-24 tahun, maka total 93 persen kasus HIV menimpa generasi muda dan produktif. Dari segi gender, laki-laki mendominasi dengan 1.243 kasus atau 76 persen, sementara perempuan tercatat 393 kasus atau 24 persen. Dominasi laki-laki ini berkaitan erat dengan pola perilaku berisiko dan mobilitas sosial yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Namun demikian, upaya penanggulangan masih menghadapi berbagai tantangan serius yang menghambat efektivitas program. Â Stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) masih sangat tinggi, dengan 92,3 persen masyarakat pedesaan dan 90,5 persen masyarakat perkotaan menunjukkan sikap diskriminatif. Bentuk diskriminasi ini meliputi penolakan mengonsumsi makanan dari ODHA, keengganan berbagi fasilitas umum, dan penolakan untuk tinggal dalam lingkungan yang sama. Â Selain itu, fenomena "lost to follow up" dimana banyak ODHA menghilang setelah diagnosis juga menjadi masalah serius yang mengindikasikan lemahnya sistem rujukan dan pendampingan pasca-diagnosis.
Tantangan khusus dalam menangani kelompok LSL terletak pada kompleksitas identitas dan ketertutupan komunitas yang mempersulit upaya penjangkauan. Tidak semua individu dalam kelompok LSL terbuka mengenai orientasi seksual mereka, sehingga pendekatan edukasi dan pencegahan menjadi sangat kompleks. Diperlukan strategi yang lebih nuansa dan sensitif budaya untuk dapat melakukan pendekatan preventif kepada kelompok ini. Penciptaan lingkungan yang kondusif dan bebas stigma menjadi prasyarat penting agar individu dalam kelompok LSL mau mengakses layanan kesehatan dan berpartisipasi dalam program pencegahan.
Menghadapi tantangan yang kompleks ini, diperlukan strategi penguatan yang komprehensif meliputi berbagai aspek. Penguatan sistem kesehatan terintegrasi dengan standardisasi layanan di seluruh fasilitas kesehatan menjadi prioritas utama. Pengembangan program edukasi yang sensitif budaya dengan melibatkan tokoh agama, adat, dan pemuka masyarakat akan membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Inovasi dalam teknologi skrining dan deteksi dini, termasuk program mobile testing yang dapat menjangkau daerah terpencil, perlu dikembangkan lebih luas.
Peningkatan kasus HIV di Sulawesi Selatan merupakan cerminan dari kompleksitas permasalahan kesehatan masyarakat yang memerlukan komitmen jangka panjang dari seluruh stakeholder. Dominasi kelompok usia produktif dan konsentrasi di daerah urban menuntut pendekatan yang tepat sasaran dan berkelanjutan. Keberhasilan penanggulangan HIV tidak hanya bergantung pada kualitas layanan kesehatan, tetapi juga pada perubahan mindset masyarakat dalam mengurangi stigma dan diskriminasi. Tanpa tindakan yang komprehensif dan terkoordinasi, Sulawesi Selatan berisiko mengalami eskalasi epidemi yang dapat berdampak luas terhadap pembangunan sosial dan ekonomi daerah, terutama mengancam generasi produktif yang menjadi harapan masa depan bangsa.
Sumber Referensi :
Detik Sulsel. (2025). 454 Kasus HIV/AIDS di Makassar Selama 2025 Didominasi Seks Sesama Pria. Diakses pada 2 Oktober 2025, dari https://www.detik.com/sulsel/makassar/d-8116770/454-kasus-hiv-aids-di-makassar-selama-2025-didominasi-seks-sesama-pria