Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Nggak Boleh Mudik?

24 April 2021   13:25 Diperbarui: 24 April 2021   13:25 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.COM/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Kalaulah diumbar untuk menyampaikan isi hati alias perasaan dari mayarakat yang terpaksa tidak boleh mudik, barangkali akan sangat banyak pernyataan atau unek-unek tak senang, menggerutu sampaipun mengumpat-umpat, mengapa Pemerintah kali ini mengeluarkan larangan untuk melakukan mudik. 

Sampaipun mereka harus 'mudik' jauh sebelum tanggal 6-17 Mei, hari-hari diberlakukannya larangan mudik. Larangan dari kebiasaan atau tradisi 'mudik' ke keluarga,-- terutama sanak keluarga yang berusia lebih tua,-- sebagai rasa sukacita bisa berkumpul kembali ataupun tanda rasa bakti kepada orang yang dituakan.

Unek-unek atau umpatan itu bisa dibenarkan, kalaulah tidak ada unsur penyebabnya yang justru mengancam jiwa yang mudik dan yang dimudiki. Yakni guna menghambat penyebaran lebih luas dan ganas virus corona (covid-1) yang menghebat di seluruh dunia. Termasuk di negara kita.

Tidak jauh waktunya untuk dijadikan 'pelajaran' tentang dahsyatnya kasus covid-19 dalam bulan-bulan ini yang melanda rakyat India. 

Sampai disebutnya kasus-gelombang -kedua covid-19 India yang diberi kode corona B-1525, dimana membawa korban penderita yang tercatat mencapai 300-450 orang meninggal setiap harinya. Melonjak melampaui penderita dan kematian akibat virus itu di Amerika Serikat. 

Dampak menyedihkan, rumah-rumah sakit yang melayani penderita virus itu kehabisan oksigen untuk pasien, sehingga oksigen untuk industri sementara harus dibelokkan untuk rumah sakit. 

Tempat tidur standar rumah sakit pun kekurangan, atau dapat dicukupi, namun tempat perawatannya sudah berdesakan sehingga pasien ditempatkan di luar kamar rawat inap. 

Sedangkan untuk kremasi yang meninggal, harus dilakukan cara kremasi-massaal. Sampaipun WHO mengingatkan pemerintah India sebagai negara berpenduduk terbanyak kedua di dunia setelah Cina, agar mengendalikan mobilitas penduduknya guna meluasnya penderita pagebluk (pandemi) itu.

Mengapa terjadi pelonjakan infeksi covid-19 sejak bulan lalu itu? Kalau diurut, adalah akibat tradisi memperingati salah satu acara keagamaan Hindu di negara itu, yakni mensucikan diri secara bersama siapapun penganut agama itu di Sungai Gangga. Sungai terbesar yang bersumber dari pegunungan Himalaya dan bermuara di Teluk Benggala. 

Puluhan dan mungkin ratusan ribu penganut agama Hindu India tumplek-blek tanpa sedikitpun melaksanakan prokes. Seminggu usai mupacara besar itu, mulailah virus covid-19 menguasai mereka dan meledaklah pandemi itu dengan penderita terbesar di dunia. 

Selain itu, dalam kesehariannya, pemerintah India juga tidak melakukan aturan-aturan yang mengurangi atau melarang orang untuk berkumpul dan melaksanakan prokes. 

Terutama bagi kaum kurang-berada. Untuk mengatur penduduknya mematuhi prokes, apalagi membatasi dan melarang mereka mengikuti tradisi yang dipercaya sebagai ketentuan keagamaan, tidak didengar atau dipatuhi. Malahan bisa-bisa ditentang mereka. Akhirnya, merekapun menerima virus mematikan itu. 

Sementara itu, orang-orang India yang berduit harus "melarikan diri" dari negaranya ke negara-negara tetangga. Indonesia menerima sejumlah 454 wn India dalam April ini, dan terakhir 127 orang dengan mencharter pesawat, 12 darinya positif terinfeksi covid-19.

Gambaran diatas sekedar untuk bahan pelajaran, mengapa Pemerintah melarang orang-orang untuk mudik dalam tahun ini. Suatu tradisi yang berlaku sejak dulu dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan bermacam penyebab. 

Tentu berharap, semoga untuk tahun depan covid-19 bisa dihilangkan dari negara kita, sehingga yang mudik bisa sepuas-puasnya melaksanakannya. 

Cobalah simak angka-angka yang disiarkan oleh Satgas Covid-19, bahwa yang meninggal akibatnya (22/4) 44.546 jiwa dan penderitanya 1.632.248 orang atau 5.436 orang setiap harinya. Lalu tercatat, justru sayang terjadi kenaikan penderita pada klaster Pesantren sebagai lembaga pendidikan. Antaralain tercatat kenaikan tajam di Pesantren di Kulonprogo, Jogjakarta.

Jadinya, ketika Wakil Presiden Amin Ma'aruf berkeinginan agar para santri mendapat fasilitas mudik Lebaran 2021, kita menjadi heran, apakah mungkin atau tidaknya mereka itu tidak membawa beban virus covid-19 atau bisa kebal terhadap virus itu? 

Jadi, kalaulah memang Pemerintah (malahan MUI Pusat) melarang mudik demi kemaslahatan rakyat sendiri, maka aturan itu harus dilaksanakan. Ataukah ingin kasus covid-19 tahapan kedua atau ketiga berpindah dari India ke Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun