Mohon tunggu...
Alzeiraldy Idzhar Ghifary
Alzeiraldy Idzhar Ghifary Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

"Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut" –M. Natsir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Santri

29 Juni 2021   13:33 Diperbarui: 17 Juni 2023   04:23 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Namanya Fajar, anak rantau dari sebuah pulau kecil di perbatasan Banten dan Jakarta. Sudah 2 tahun ia sekolah sambil mondok di Kota Serang-Banten, daerah yang disebut tanah seribu ulama sejuta santri. Fajar sekolah di sebuah Madrasah Aliyah Swasta dekat Masjid Agung Kota yang biasa ramai dikunjungi pendatang dari luar Banten. 

Sedangkan Pesantrennya merupakan salah satu pesantren tradisional tertua di Kota Serang yang sudah ada sejak awal kemerdekaan tahun 1950-an, yang didirikan oleh ulama Banten yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan di dekat sekolahannya.

Dulu, saat pertama kali tiba di Kota ia memutuskan sekolah sambil mondok tujuannya untuk menambah ilmu agama juga meringankan biaya. Sebab Fajar tau biaya hidup di Kota tak murah, dibanding indekos 400-500rb perbulan, mondok dengan iuran listrik 80rb perbulan tentu jauh lebih ringan. 

Selain itu faktor geografis juga menjadi alasan, jarak pesantren dan sekolahnya kurang dari 1 kilo meter yang membuat ia bisa berjalan kaki ke sekolah, lebih hemat dan efisien.

Jadi, Fajar sekolah sambil mondok di mana pondok pesantren tempat ia mengaji, belajar kitab kuning, ilmu-ilmu agama, dan tinggal selama hidup di kota. Sementara sekolah tempat ia belajar ilmu pengetahuan lainnya yang tidak didapat di pesantren.

***

Libur Ramadan selama sebulan sudah usai. Artinya Fajar harus segera kembali ke pesantren. Tak seperti biasanya, kali ini ia harus kembali dengan perasaan sedih. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh palawija sakit keras, yang membuatnya tak bisa pergi bekerja di lahan milik Pak Kades. 

Padahal menjadi buruh merupakan satu-satunya pemasukan keluarga mereka. Ibunya yang buta huruf, tidak bekerja. Kadang, hanya membantu menyeterika pakaian tetangga dengan upah tak seberapa. 

Sebetulnya Fajar masih ingin bertahan, menunda kembali ke pesantren untuk membantu orang tuanya di rumah. Tapi dorongan Ayah dan Ibunya untuk tetap kembali ke pesantren membuat Fajar luluh juga.

Fajar pun kembali ke pesantren meski hati tak tega meninggalkan Ayahnya di rumah yang sedang sakit. Fajar pergi dengan perahu kecil yang biasa sepekan dua kali datang ke pulau tempat ia tinggal, berangkat bersama 6 penumpang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun