Mohon tunggu...
Alyssa Sitanggang
Alyssa Sitanggang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi UPH

Sedikit canggung awal jumpa, lebih banyak menuangkan perasaan lewat musik dan kata. Sesekali juga ditumpahkan atas kanvas dibantu kuas. Waktu senggang dipakai untuk scroll twitter mencari memes yang bisa dibagikan untuk ditertawakan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toxic Relationship Orang Tua dan Kamu, yang Tidak Lagi Kecil

23 Desember 2021   23:26 Diperbarui: 23 Desember 2021   23:35 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perjalanan hidup anak dimulai dengan campur tangan orang tua. Kehadiran dan ketidakhadiran orang tua berpengaruh terhadap konsep diri anak. Kehadiran orang tua bisa secara fisik, finansial (memfasilitasi anak), dan emosional. Sering kali orang tua hanya hadir secara fisik dan finansial, tetapi tidak cukup memenuhi kebutuhan emosional anak. Hal ini mendorong saya untuk membagikan sudut pandang saya kepada kamu yang tidak lagi kecil. Penulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan kasih orang tua terhadap anak maupun mengurangi rasa hormat anak kepada orang tua. Namun, penulisan ini bertujuan untuk mencari jalan tengah dari sebuah hubungan yang toxic.

Saya mengamati dan mempelajari  para orang tua  dalam menunjukkan kasih sayang. Mereka seringkali mengekspresikannya melalui asupan gizi yang cukup, fasilitas yang memadai, dan didikan keras yang meninggalkan bekas memar di tubuh. Mereka tidak menyadari bahwa bekas memar di tubuh seringkali juga membekas di batin. Terkadang yang perih bukan di raga, melainkan di jiwa. Belum lagi ditambah kata-kata yang sifatnya membandingkan sang anak dengan anak yang lain. "Masa gini aja gak bisa?", "Liat tuh si Beni, pinter, juara 1", "Badan kamu kayak gentong!" dilontarkan dengan nada merendahkan. Mungkin bagi mereka itu kalimat motivasi, tetapi bagi anak itu merupakan kalimat yang menciptakan keraguan di benak  terhadap potensi diri. Ketika orang tua seharusnya menjadi pendukung terbesar dalam hidup, tidak jarang malah memperberat beban di pundak. Alhasil, anak mencari pendukung lain di luar rumah. Padahal, orang tua sejatinya menjadi 'rumah' bagi anak untuk self-disclosure atau keterbukaan diri. Tanpa sadar, orang tua membangun tembok antara mereka dan anaknya. Inilah yang menjadi gejala awal sebuah toxic relationship antara orang tua dengan anak.

Terkadang yang perih bukan di raga, melainkan di jiwa.

Semakin bertambah usia, pemahaman lebih berkembang dibandingkan dalam fase hidup sebelumnya. Sudah terlanjur tertutup, tetapi sedikit lebih bijak dalam bersikap. Saya memiliki 3 cara yang saya terapkan dalam menyikapi gejala toxic relationship dengan orang tua:

1. Orang tua juga masih berproses dalam hidup

Saya memahami bahwa usia tidak menjadi penghalang untuk seseorang belajar. Hidup telah menempa orang tua menjadi sedemikian rupa. Mungkin masih ada aspek masa lalu belum diselesaikan dengan baik dan terlampiaskan kepada anak-anaknya. Mereka juga sedang berusaha untuk bertahan.

2. Komunitas nonbiologis bisa menjadi support system


Saya pernah mendengar kutipan, "Not family by blood but by heart." Kutipan ini menyiratkan bahwa ada orang di luar keluarga yang bisa sedekat hubungan keluarga. Asal memilih lingkungan yang benar, kamu mampu mendapatkan sudut pandang yang benar, terutama mengenai toxic relationship dengan orang tua. Komunitas mampu memberi pandangan yang murni tanpa dipengaruhi oleh toxic relationship yang sedang kamu alami.

3. Kamu tetap berharga, apapun pendapat orang

Tidak dapat dipungkiri, orang tua dapat menjadi sumber luka terbesar dalam hidup. Tidak jarang anak menyimpan pahit dan dendam yang disebabkan oleh orang tua. Cacian yang katanya sebagai bentuk sayang, nyatanya meninggalkan lecet di hati. Apapun dan siapapun yang menjadi penyebab luka, kamu tetap bernilai mahal dan pantas untuk diperlakukan dengan kasih sayang. Mungkin tidak sepenuhnya dari orang tuamu, tetapi percayalah hidup bersifat dinamis dan dapat mempertemukan kamu dengan kasih yang patut terima.

Kesimpulannya, perlu disadari bahwa orang tua juga masih berproses dalam mengutarakan kasih sayang kepada anak. Dengan kesadaran ini, kita mampu menerima orang tua kita apa adanya. Jika kamu berada dalam toxic relationship, carilah komunitas yang mampu membangun jati dirimu dan hubunganmu dengan orang tua. Terakhir, apa yang kamu alami tidak mengurangi nilai dirimu. Kamu berharga karena kamu berharga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun