Dalam beberapa dekade terakhir, kawasan Laut China Selatan telah menjadi pusat perhatian dunia internasional karena kompleksitas sengketa yang berlangsung di wilayah tersebut. Konflik ini tidak hanya berkaitan dengan tumpang tindih klaim teritorial antara negara-negara di Asia Tenggara dan Tiongkok, tetapi juga menyangkut kepentingan geopolitik, sumber daya alam, dan jalur perdagangan global. Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang mengklaim secara langsung wilayah sengketa tersebut, keberadaannya tetap terdampak, terutama di wilayah strategis seperti Kepulauan Natuna yang terletak di bagian utara Indonesia. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana sengketa di Laut China Selatan memengaruhi kedaulatan Indonesia, dan bagaimana negara ini merespons dinamika yang terjadi?
Sengketa Laut China Selatan melibatkan enam negara, yakni Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Masing-masing negara tersebut mengklaim sebagian atau seluruh wilayah laut berdasarkan interpretasi sejarah maupun prinsip-prinsip hukum laut internasional. Namun, posisi Tiongkok yang paling agresif dalam memperluas klaimnya melalui konsep nine-dash line telah menimbulkan kekhawatiran mendalam. Garis imajiner yang diajukan Tiongkok tersebut mencakup hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan, termasuk sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar perairan Natuna Utara.
Meski Indonesia secara konsisten menyatakan tidak memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok, beberapa insiden di perairan Natuna menunjukkan adanya pelanggaran kedaulatan secara tidak langsung. Kapal-kapal nelayan Tiongkok kerap memasuki perairan Indonesia dengan dikawal oleh penjaga pantai mereka, yang kadang memicu konfrontasi dengan aparat keamanan laut Indonesia. Situasi ini menciptakan dinamika yang unik, di mana Indonesia dihadapkan pada dilema antara menjaga hubungan diplomatik dengan Tiongkok dan mempertahankan integritas wilayahnya.
Indonesia tidak tinggal diam menghadapi kondisi ini. Pemerintah Indonesia merespons dengan langkah-langkah strategis yang menyasar berbagai aspek, mulai dari militer, hukum, diplomasi, hingga pembangunan ekonomi lokal. Di sektor pertahanan, Indonesia memperkuat kehadiran militer di Natuna dengan membangun pangkalan militer, mengerahkan kapal perang, serta memperkuat patroli laut yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ini merupakan bentuk penegasan terhadap kedaulatan dan komitmen negara dalam menjaga yurisdiksi wilayahnya.
Di sisi diplomasi, Indonesia tetap berpegang pada prinsip penyelesaian damai dan supremasi hukum internasional. Pemerintah aktif menyuarakan pentingnya penyelesaian sengketa berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Selain itu, Indonesia berperan aktif dalam perumusan Code of Conduct (CoC) antara ASEAN dan Tiongkok untuk menghindari konflik terbuka di wilayah tersebut. Sementara itu, di tingkat domestik, pemerintah juga mendorong pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Natuna sebagai bagian dari strategi non-militer dalam memperkuat klaim kedaulatan.
Implikasi dari sengketa Laut China Selatan terhadap Indonesia sangat signifikan. Pertama, meskipun tidak ada klaim langsung atas daratan Indonesia, pelanggaran di wilayah ZEE dapat dipahami sebagai bentuk ancaman terhadap yurisdiksi Indonesia atas sumber daya alam lautnya. Kedua, meningkatnya ketegangan mendorong militerisasi wilayah perbatasan yang sebelumnya tidak banyak mendapat perhatian, yang mengindikasikan perluasan postur pertahanan Indonesia terhadap ancaman non-konvensional. Ketiga, situasi ini memperlihatkan pentingnya hukum internasional sebagai landasan yang kuat dalam mempertahankan klaim dan kepentingan nasional, sehingga diplomasi hukum menjadi salah satu alat utama dalam menjaga integritas nasional Indonesia.
Melalui pendekatan yang komprehensif---menggabungkan kekuatan militer, diplomasi, dan pembangunan lokal---Indonesia menunjukkan komitmennya dalam mempertahankan kedaulatan tanpa terjebak dalam provokasi atau konflik terbuka. Sengketa Laut China Selatan menjadi contoh nyata bagaimana dinamika global dapat menyentuh urusan domestik, dan menuntut negara untuk memiliki strategi yang adaptif, tegas, namun tetap menjunjung tinggi norma internasional.
Dengan demikian, sengketa ini bukan hanya soal klaim wilayah, tetapi juga menyangkut kemampuan Indonesia dalam menjaga integritas nasional di tengah tekanan eksternal. Di masa depan, kemungkinan terjadinya konflik serupa akan tetap ada, seiring dengan berubahnya konstelasi politik global. Oleh karena itu, Indonesia perlu terus membangun kapasitasnya, baik di bidang pertahanan, diplomasi, maupun ketahanan sosial-ekonomi masyarakat perbatasan, agar mampu berdiri teguh dalam menjaga kedaulatannya di tengah dinamika sistem internasional yang kompleks dan tidak menentu.
Sejarah dan Konteks Geopolitik
Laut Natuna Utara merupakan bagian dari ZEE Indonesia yang diakui secara internasional. Kepulauan Natuna sendiri merupakan gugusan pulau yang berada di utara Pulau Kalimantan dan secara administratif masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang strategis menjadikan wilayah ini rawan konflik, terutama dengan adanya klaim tumpang tindih dari China. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya, termasuk wilayah yang jelas-jelas masuk ke dalam ZEE negara lain, termasuk Indonesia, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Klaim China ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam UNCLOS dan telah mendapatkan penolakan internasional, termasuk dari Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag yang pada tahun 2016 memutuskan bahwa klaim nine-dash line China tidak memiliki dasar hukum. Meski begitu, China menolak putusan tersebut dan tetap melanjutkan aktivitasnya di kawasan tersebut.
Sikap Awal Indonesia
Pada awalnya, Indonesia cenderung menghindari keterlibatan langsung dalam konflik Laut China Selatan. Indonesia memposisikan dirinya sebagai pihak yang netral dan lebih memilih berperan sebagai mediator dalam konflik antara negara-negara pengklaim lainnya. Namun, ketika kapal-kapal milik China mulai memasuki wilayah perairan Natuna yang menjadi bagian dari ZEE Indonesia, pemerintah Indonesia mulai mengambil sikap yang lebih tegas. Presiden Joko Widodo, dalam beberapa kesempatan, telah menunjukkan komitmen untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia. Salah satu langkah simbolik yang diambil adalah melakukan kunjungan langsung ke Pulau Natuna pada tahun 2016 dan 2020, setelah terjadi insiden pelanggaran wilayah oleh kapal China. Kunjungan ini memiliki makna penting sebagai bentuk penegasan bahwa Natuna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Indonesia.
Pendekatan Diplomatik dan Militer
Indonesia menerapkan pendekatan ganda dalam menghadapi konflik ini, yakni melalui jalur diplomatik dan militer. Dalam konteks diplomatik, Indonesia terus menegaskan posisi hukumnya di forum-forum internasional dan regional, termasuk ASEAN. Pemerintah Indonesia berulang kali menyatakan bahwa tidak ada klaim tumpang tindih antara Indonesia dan China di Laut Natuna Utara karena wilayah tersebut merupakan bagian dari ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS. Di sisi lain, pendekatan militer juga diperkuat dengan meningkatkan kehadiran TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara di wilayah Natuna. Pembangunan pangkalan militer, peningkatan frekuensi patroli, serta latihan militer bersama merupakan langkah nyata dalam menjaga kedaulatan. Indonesia juga mendorong kerja sama pertahanan dengan negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, dalam bentuk latihan bersama dan peningkatan kapasitas pertahanan maritim.
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun Indonesia telah mengambil sikap tegas, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. China adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia dan memiliki pengaruh ekonomi yang besar. Sikap terlalu konfrontatif terhadap China dapat menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Oleh karena itu, Indonesia harus menyeimbangkan antara menjaga kedaulatan dan menjaga hubungan baik dengan China. Selain itu, keterbatasan kapasitas militer dan pengawasan di wilayah perairan yang luas menjadi tantangan tersendiri. Penguatan armada laut, radar pengawasan, serta infrastruktur militer di Natuna masih perlu ditingkatkan agar dapat merespons pelanggaran wilayah dengan lebih cepat dan efektif.