Mohon tunggu...
Alwidya Syah Abdul Jabbar
Alwidya Syah Abdul Jabbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI dan Front Mahasiswa Nasional Bandung Raya.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama

G20 Bukan untuk Pemuda-Mahasiswa Rakyat

20 November 2022   02:35 Diperbarui: 22 November 2022   06:47 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulih Bersama. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak Indonesia menerima paket ekonomi WTO dan IMF, permasalahan utama pemuda mahasiswa Indonesia adalah jaminan pendidikan dan pekerjaan. Liberalisasi dan privatisasi yang dilegitimasi lewat UU Penanaman Modal Asing, Ratifikasi General Agreement on Trade and Services, UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang akhirnya dijalankan lewat UU no.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada akhirnya melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dan mengalihkannya kepada masyarakat: kaum muda dan orangtuanya yang menderita tindasan politik upah murah dan perampasan lahan di mana-mana. Belum lagi Omnibus Law RUU Sisdiknas yang mengobral otonomi keuangan kampus lewat status PTNBH, membiarkan kampus sesuka hati membuka prodi baru merespon keinginan pasar bebas, bahkan dengan kasar mencabut diksi 'tunjangan profesi guru', menghina seluruh civitas academica rakyat kita.

Komersialisasi dalam pendidikan diwujudkan dalam bentuk biaya pendidikan yang meninggi tiap tahunnya, serta fasilitas-fasilitas penunjang pendidikan yang dijual pada korporasi maupun menagih pembiayaan dari siswa. Sementara privatisasi jelas nyata dengan terbukanya akses pendidikan hanya kepada yang berpunya. Pendidikan menjadi komoditas yang privat alih-alih hak rakyat yang sudah dilindungi konstitusi. Semua ini adalah praktik liberalisasi yang disuntikkan lewat program-program 'efisiensi anggaran' dan 'kebijakan fiskal' oleh forum-forum multilateral yang diinisiasi langsung oleh negeri-negeri kapitalis monopoli, termasuk G20.

Dalam KTT G20 presidensi Indonesia tahun ini, dibentuk EdWG (Education Work Group) G20, yang merupakan forum menteri pendidikan negara anggota G20 untuk merumuskan kebijakan dan konsepsi pendidikan sesuai kebutuhan mereka. Ada empat hal yang menjadi fokus pembahasan dalam forum ini, yaitu Pendidikan Berkualitas untuk Semua, Teknologi Digital dalam Pendidikan, Solidaritas dan Kemitraan, serta Masa Depan Dunia Kerja Pasca COVID-19. Namun, rakyat kita tidak akan tertipu lagi dengan semua retorika manis yang menyelubungi doktrin neoliberalisme mereka.

Dalam pembahasan mereka mengenai agenda pendidikan berkualitas, yang mereka lampirkan sebagai data dan permasalahan utama yang direspon bukanlah soal tiadanya akses pendidikan bagi pemuda-mahasiswa, namun mengenai tingginya 'learning loss' (kekosongan belajar) selama pandemi karena sekolah ditutup dan rakyat tak memiliki komputer untuk menyelenggarakan pembelajaran. Dari sini, ditariklah kesmpulan bahwa agenda digitalisasi dan teknologi pendidikan adalah hal yang mendesk untuk diwujudkan, berkorelasi dengan agenda transformasi digital dan teknologi daripada G20 itu sendiri. Siapakah yang akan diuntungkan selain korporasi besar telekomunikasi dan perbankan digital? Padahal, yang diinginkan oleh rakyat sebetulnya sederhana saja: sekolah harus gratis, dan kuliah harus murah!

Agenda mengenai 'kemitraan' dalam bidang pendidikan G20 pun, bukanlah hal yang baru. Sejak 2016, mobilisasi kaum muda dan mahasiswa untuk mencurahkan tenaga mereka diperusahaan-perusahaan dengan kedok 'mencari pengalaman kerja', sudah digaungkan KTT G20 presidensi Tiongkok. G20 Itali tahun 2021 pun mengulangi tipudaya tersebut, hingga wujudlah 'Kampus Merdeka - Merdeka Belajar (MBKM)' yang problematik ini di sekolah dan universitas Indonesia. 

Program Studi Independen dan Magang Bersertifikat dalam MBKM dirasa banyak mahasiswa sebagai penghisapan; mereka musti bekerja sebagaimana karyawan umumnya, namun dengan upah yang sedikit bahkan tidak samasekali. 

Pendidikan di kampus-kampus pun berfokus kepada pemenuhan kebutuhan pasar alih-alih memajukan kebudayaan. Rakyat tentu tidak menolak pelajar mampu memahami dunia kerja secara konkret, namun apa yang bisa diharapkan jika peraturan ketenagakerjaan terkait pemagangan tidak dijalankan secara tegas dalam prakteknya?

'Kampus Merdeka' tidak mampu memerdekakan kampus dari jajahan kekhawatiran mahasiswa miskin yang tak bisa membayar UKT, dan malah mengiming-imingi mereka dengan potongan UKT dan upah seadanya, lalu menjual mereka pada perusahaan-perusahaan lewat pemagangan. Peluang pemuda mendapatkan pekerjaan jika sudah 'memiliki pengalaman kerja sebelumnya lewat magang' pun tidak dijamin oleh negara. Inikah yang disebut G20 sebagai "masa depan dunia kerja pasca Covid-19": angkatan besar pengangguran alumni PT, dengan ijazah yang mereka beli dengan airmata keluarganya di rumah.

Semua jargon dan slogan G20 adalah kemunafikan: tidak ada yang akan diuntungkan selain negeri kapitalis monopoli internasional dan hamba-hambanya dalam negeri, dan tak ada yang dirugikan selain rakyat Indonesia seluruhnya. Solusi bagi pemuda-mahasiswa Indonesia hari ini adalah pembubaran total G20, demi terwujudnya pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.

Pemuda-mahasiswa, tolak G20!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun