LMKN harus lebih agresif dan efektif dalam penjangkauannya. Pendekatannya tidak bisa hanya "mengumpulkan" tetapi harus "mengundang kolaborasi." Bisnis perlu dididik bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawab bisnis mereka yang sah dan etis untuk membangun ekosistem yang berkelanjutan.
Yang tak kalah pentingnya adalah transparansi. LMKN diwajibkan membangun sistem penghitungan dan penyaluran royalti yang akuntabel dan diaudit publik. Besarannya harus rasional, dasar penghitungannya jelas, dan dikomunikasikan dengan baik. Ketidakjelasan dalam hal ini akan terus memicu perlawanan dan menciptakan persepsi negatif tentang "pungutan liar".
Kesimpulan: Investasi untuk Masa Depan
Pada akhirnya, kita harus memandang ini sebagai sebuah investasi. Membayar royalti musik bukan sekadar kewajiban, melainkan investasi dalam membangun industri kreatif Indonesia yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih profesional. Dana yang terkumpul dan tersalurkan secara efektif akan meningkatkan kesejahteraan musisi, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menciptakan karya yang lebih berkualitas.
Gesekan yang terjadi saat ini merupakan proses alami menuju pematangan ekosistem. Yang dibutuhkan saat ini adalah dialog yang konstruktif antara LMKN, asosiasi pelaku usaha, dan kreator. Dengan transparansi dan edukasi, langkah-langkah LMKN tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai fondasi bagi tata kelola industri musik Indonesia yang lebih beradab dan menghargai kerja keras setiap individu kreatif di dalamnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI