Mohon tunggu...
Muhammad Alvino ZA
Muhammad Alvino ZA Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga 2025

Muhammad Alvino Zuhayr Asmara adalah seorang mahasiswa yang penuh semangat dalam mengeksplorasi dunia linguistik dan sastra. Saat ini, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Studi S1 Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Airlangga (UNAIR), angkatan 2025. Ketertarikan utamanya terletak pada bidang bahasa dan budaya. Di luar fokus studinya pada Bahasa dan Sastra Inggris, Alvino secara aktif dan mandiri mempelajari Bahasa Jerman dan telah mencapai tingkat kemahiran yang setara dengan level B1 menurut Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Pencapaian ini menunjukkan kemampuannya untuk berkomunikasi dan memahami topik-topik sehari-hari dalam bahasa Jerman. Minatnya pada kedua bahasa ini tidak hanya terbatas pada tata bahasa dan kosa kata, tetapi juga meluas kepada apresiasi mendalam terhadap sastra, budaya, serta nilai-nilai komunikasi internasional. Sebagai bagian dari komunitas akademik Universitas Airlangga, ia terus aktif mengasah kemampuannya dan berusaha untuk menerapkan pengetahuannya dalam berbagai kesempatan, membangun fondasi yang kuat untuk masa depannya di kancah global.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Royalti Musik LMKN: Langkah Penting Menuju Keadilan dalam Ekosistem Kreatif

23 Agustus 2025   09:39 Diperbarui: 23 Agustus 2025   09:39 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berita akhir-akhir ini dipenuhi keluhan dari sejumlah pelaku usaha terkait RUU royalti musik dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sebagai pengamat yang telah lama mempelajari perlindungan hak cipta, saya melihat bahwa perdebatan ini justru menunjukkan proses kecerdasan kolektif yang diperlukan bagi masa depan ekonomi kreatif Indonesia.

Pertama, penting untuk ditegaskan bahwa langkah LMKN ini bukanlah tindakan sewenang-wenang. Ini merupakan implementasi konkret dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini merupakan produk hukum progresif yang tidak hanya melindungi pencipta lagu tetapi juga mengakui Hak Terkait bagi pelaku musik seperti musisi, penyanyi, dan produser rekaman. Inilah yang membedakannya dari rezim hak cipta lama.

Argumen Hukum dan Ekonomi yang Kuat

Dari perspektif hukum, kewenangan LMKN tidak dapat diganggu gugat. Pasal 88 Undang-Undang Hak Cipta secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang memanfaatkan Hak Terkait wajib membayar ganti rugi kepada pemegang hak melalui Lembaga Manajemen Kolektif. LMKN hadir sebagai lembaga yang diamanatkan oleh negara untuk menjalankan fungsi ini.

Dari perspektif ekonomi, argumen ini kuat. Ketika restoran, mal, atau pusat kebugaran memutar musik, mereka memanfaatkan karya kreatif sebagai bagian dari strategi bisnis untuk menciptakan pengalaman tertentu, menarik lebih banyak pelanggan, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan. Wajar dan adil bagi pencipta yang karyanya "dijual" untuk menerima ganti rugi ekonomi. Ini bukan soal amal, melainkan asas pertukaran nilai wajar dalam ekosistem bisnis yang berkeadilan.

Membedakan Hak Cipta dan Hak Terkait: Sumber Utama Kebingungan

Banyak keluhan pelaku bisnis berawal dari kesalahpahaman mendasar. Mereka sering menyamakan royalti untuk Hak Terkait (yang dikelola oleh LMKN) dengan royalti untuk Hak Cipta (yang dikelola oleh lembaga seperti WAMI atau Yayasan KCI).

Hal ini perlu diperjelas. Hak cipta melindungi karya kreatif (lagu) dan merupakan hak milik pencipta/penerbit. Sementara itu, Hak Terkait melindungi rekaman suara (master record) dan merupakan hak milik artis yang membawakan lagu tersebut, musisi pendukung, dan produser rekaman. Ketika sebuah bisnis menayangkan lagu dari Spotify, mereka menjalankan kedua hak tersebut. Oleh karena itu, idealnya, mereka wajib membayar kedua jenis royalti tersebut. Membayar langganan Spotify tidak serta merta membebaskan mereka dari kewajiban membayar Hak Terkait, karena mekanisme pembayaran platform digital kepada pemegang Hak Terkait di Indonesia masih kompleks dan tidak selalu menjangkau musisi lokal.

 

Tantangan Masa Depan: Transparansi dan Edukasi

Ini bukan berarti LMKN (Lembaga Musik Nasional) tidak memiliki pekerjaan rumah. Protes dari komunitas bisnis menyoroti dua kegagalan utama: edukasi dan transparansi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun