Berita akhir-akhir ini dipenuhi keluhan dari sejumlah pelaku usaha terkait RUU royalti musik dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sebagai pengamat yang telah lama mempelajari perlindungan hak cipta, saya melihat bahwa perdebatan ini justru menunjukkan proses kecerdasan kolektif yang diperlukan bagi masa depan ekonomi kreatif Indonesia.
Pertama, penting untuk ditegaskan bahwa langkah LMKN ini bukanlah tindakan sewenang-wenang. Ini merupakan implementasi konkret dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini merupakan produk hukum progresif yang tidak hanya melindungi pencipta lagu tetapi juga mengakui Hak Terkait bagi pelaku musik seperti musisi, penyanyi, dan produser rekaman. Inilah yang membedakannya dari rezim hak cipta lama.
Argumen Hukum dan Ekonomi yang Kuat
Dari perspektif hukum, kewenangan LMKN tidak dapat diganggu gugat. Pasal 88 Undang-Undang Hak Cipta secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang memanfaatkan Hak Terkait wajib membayar ganti rugi kepada pemegang hak melalui Lembaga Manajemen Kolektif. LMKN hadir sebagai lembaga yang diamanatkan oleh negara untuk menjalankan fungsi ini.
Dari perspektif ekonomi, argumen ini kuat. Ketika restoran, mal, atau pusat kebugaran memutar musik, mereka memanfaatkan karya kreatif sebagai bagian dari strategi bisnis untuk menciptakan pengalaman tertentu, menarik lebih banyak pelanggan, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan. Wajar dan adil bagi pencipta yang karyanya "dijual" untuk menerima ganti rugi ekonomi. Ini bukan soal amal, melainkan asas pertukaran nilai wajar dalam ekosistem bisnis yang berkeadilan.
Membedakan Hak Cipta dan Hak Terkait: Sumber Utama Kebingungan
Banyak keluhan pelaku bisnis berawal dari kesalahpahaman mendasar. Mereka sering menyamakan royalti untuk Hak Terkait (yang dikelola oleh LMKN) dengan royalti untuk Hak Cipta (yang dikelola oleh lembaga seperti WAMI atau Yayasan KCI).
Hal ini perlu diperjelas. Hak cipta melindungi karya kreatif (lagu) dan merupakan hak milik pencipta/penerbit. Sementara itu, Hak Terkait melindungi rekaman suara (master record) dan merupakan hak milik artis yang membawakan lagu tersebut, musisi pendukung, dan produser rekaman. Ketika sebuah bisnis menayangkan lagu dari Spotify, mereka menjalankan kedua hak tersebut. Oleh karena itu, idealnya, mereka wajib membayar kedua jenis royalti tersebut. Membayar langganan Spotify tidak serta merta membebaskan mereka dari kewajiban membayar Hak Terkait, karena mekanisme pembayaran platform digital kepada pemegang Hak Terkait di Indonesia masih kompleks dan tidak selalu menjangkau musisi lokal.
Â
Tantangan Masa Depan: Transparansi dan Edukasi
Ini bukan berarti LMKN (Lembaga Musik Nasional) tidak memiliki pekerjaan rumah. Protes dari komunitas bisnis menyoroti dua kegagalan utama: edukasi dan transparansi.