Mohon tunggu...
M. Alvin Danial
M. Alvin Danial Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Desakan Donald Trump Terhadap Penggunaan QRIS dan GPN di Indonesia

29 April 2025   04:29 Diperbarui: 29 April 2025   04:29 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dinamika hubungan ekonomi-politik global yang terus berkembang, intervensi terhadap kebijakan domestik negara berkembang oleh negara adidaya bukanlah fenomena baru. Salah satu peristiwa yang mencerminkan kecenderungan tersebut adalah desakan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat periode 2017-2021, terhadap Indonesia terkait penggunaan sistem pembayaran domestik, yakni Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Trump secara eksplisit mendorong Indonesia untuk kembali mengutamakan penggunaan jaringan pembayaran berbasis Amerika, Visa dan MasterCard, daripada memperluas adopsi sistem nasionalnya sendiri. Fenomena ini mengundang kontroversi yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi, melainkan juga menyentuh isu-isu fundamental seperti kedaulatan politik, keamanan nasional, serta dinamika globalisasi keuangan yang semakin kompleks dan kompetitif.

Latar Belakang QRIS dan GPN: Manifestasi Kedaulatan Ekonomi

QRIS dan GPN merupakan instrumen strategis yang dirancang untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional Indonesia. QRIS, yang diluncurkan oleh Bank Indonesia, bertujuan untuk menyatukan berbagai metode pembayaran berbasis kode QR ke dalam satu standar nasional. Inisiatif ini tidak hanya mendorong efisiensi transaksi keuangan ritel, tetapi juga bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal.

Sementara itu, GPN berfungsi sebagai infrastruktur sistem pembayaran domestik yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap jaringan asing dalam transaksi nontunai. Dengan membangun ekosistem ini, Indonesia berupaya memastikan bahwa arus data finansial domestik tetap berada dalam kendali nasional, sekaligus memperkecil risiko kerentanan terhadap dinamika politik internasional. Inisiatif ini sejalan dengan agenda besar Indonesia untuk memperkokoh ketahanan ekonomi nasional, meningkatkan inklusi keuangan, memperkuat daya tawar dalam perundingan internasional, dan mengantisipasi potensi risiko geopolitik yang dapat mengganggu stabilitas keuangan domestik.

Kontroversi: Desakan Trump dan Kepentingan Tersembunyi

Desakan Donald Trump agar Indonesia kembali mengutamakan Visa dan MasterCard tidak dapat dilepaskan dari kepentingan strategis Amerika Serikat dalam mempertahankan dominasi globalnya, khususnya di sektor jasa keuangan dan teknologi pembayaran digital. Dengan mendorong penggunaan dua raksasa pembayaran asal Amerika tersebut, Trump berupaya menjaga stabilitas arus pendapatan perusahaan-perusahaan AS serta memastikan data transaksi global tetap dalam lingkup pengawasan Amerika.

Dalam kacamata kritis, tindakan ini merefleksikan politik proteksionisme ekonomi yang menjadi ciri utama administrasi Trump. Meskipun di permukaan desakan tersebut dikemas dalam narasi "kebebasan bertransaksi" dan "efisiensi global," sesungguhnya terdapat kekhawatiran mendalam terhadap proliferasi sistem pembayaran domestik di negara-negara berkembang yang berpotensi menggerus dominasi korporasi Amerika. Dengan kata lain, Trump berusaha mempertahankan status quo yang selama ini menguntungkan Amerika Serikat dalam tatanan ekonomi global.

Aspek Kedaulatan dan Ketegangan Ekonomi-Politik

Dari sudut pandang Indonesia, desakan tersebut menyentuh isu kedaulatan ekonomi yang sangat sensitif dan fundamental. Penggunaan QRIS dan GPN bukan sekadar soal preferensi teknis, melainkan pilihan strategis untuk menghindari ketergantungan terhadap sistem pembayaran asing yang rentan terhadap dinamika politik internasional. Dalam konteks ini, penerimaan terhadap desakan Trump dapat dipandang sebagai bentuk kompromi terhadap hak prerogatif negara dalam mengatur ekonominya sendiri.

Lebih jauh lagi, ketergantungan terhadap jaringan pembayaran asing membuka potensi risiko terhadap kontrol data transaksi nasional. Data keuangan merupakan komoditas strategis dalam era digital, dan penguasaannya oleh pihak asing dapat berdampak pada keamanan nasional, kerahasiaan ekonomi, serta stabilitas sosial. Oleh karena itu, resistensi Indonesia terhadap tekanan Trump bukan sekadar bentuk proteksionisme ekonomi, melainkan merupakan upaya mempertahankan integritas nasional dan memperkokoh posisi strategisnya dalam percaturan global.

Kritik terhadap Trump: Neoimperialisme Digital?

Banyak analis mengkritik langkah Trump sebagai bentuk baru dari neoimperialisme, yakni dominasi tidak melalui kekuatan militer, melainkan melalui kontrol terhadap infrastruktur digital dan keuangan global. Dalam logika ini, Visa dan MasterCard berfungsi sebagai instrumen kontrol ekonomi yang memperpanjang hegemoni Amerika Serikat dalam tatanan dunia yang semakin digital dan terhubung.

Dalam perspektif ini, desakan terhadap Indonesia untuk mengutamakan Visa dan MasterCard dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan ketimpangan struktural dalam sistem keuangan global, di mana negara-negara berkembang tetap berada dalam posisi subordinat terhadap negara maju. Melalui penguasaan jalur-jalur pembayaran dan pengumpulan data transaksi keuangan, Amerika Serikat dapat mempertahankan pengaruhnya tanpa perlu keterlibatan langsung di ranah politik atau militer.

Respons Indonesia: Antara Perlawanan dan Negosiasi

Pemerintah Indonesia, melalui Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, merespons desakan tersebut dengan mempertahankan komitmennya terhadap pengembangan QRIS dan GPN. Otoritas moneter nasional menegaskan bahwa sistem pembayaran domestik dirancang untuk memperluas inklusi keuangan, memperkuat sistem keuangan nasional, serta melindungi kepentingan ekonomi Indonesia dari potensi dominasi asing.

Indonesia juga menekankan bahwa kemandirian sistem pembayaran merupakan bagian integral dari visi besar ekonomi digital nasional, sebagaimana tercermin dalam berbagai program strategis seperti Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) dan peta jalan transformasi digital nasional. Namun, dalam waktu yang sama, Indonesia tetap menjaga keseimbangan diplomatik dengan Amerika Serikat, mengingat hubungan bilateral kedua negara yang luas dan saling menguntungkan di berbagai sektor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun