Kudeta militer yang terjadi di Myanmar pada 1 Februari 2021 menjadi momen besar bagi politik Myanmar dan memicu kondisi politik di Asia Tenggara. Pemerintahan yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan partainya yaitu National League Democracy diambil alih oleh militer Myanmar atau Tatmadaw.
Masyarakat sipil Myanmar marah atas tindakan militer yang terjadi dan memicu gelombang protes yang besar. Protes yang awalnya damai berubah menjadi situasi yang sangat genting ketika aparat militer melakukan tindakan represif dan kekerasan terhadap para demonstran.
Sejak awal krisis, Indonesia menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi di Myanmar. Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri terlibat dalam diplomasi bilateral dan multilateral secara aktif.
Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri mengambil peran penting dalam inisiatif diplomasi dengan berbagai negara anggota ASEAN dengan tujuan untuk menemukan solusi kolektif yang efektif. Pada bulan Maret 2021, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengadakan beberapa pertemuan dengan beberapa menteri luar negeri negara-negara ASEAN.
Retno Marsudi mengusulkan agar diadakan KTT ASEAN untuk membahas krisis Myanmar. Pada tanggal 24 April 2021, Pertemuan Pemimpin ASEAN diadakan di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh para kepala negara dan perwakilan tinggi dari negara-negara ASEAN. Kehadiran militer Myanmar diwakili oleh Jenderal Min Aung Hlaing.
Pertemuan ini merupakan tonggak penting dalam sejarah ASEAN karena ini kesempatan pertama di mana para pemimpin ASEAN berkumpul untuk pertemuan tatap muka khusus untuk membahas krisis internal yang terjadi di salah satu negara anggota ASEAN.
Dalam situasi ini, Indonesia memainkan peran diplomatik yang sangat penting. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan salah satu pendiri ASEAN, Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kestabilan kawasan.
Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen yang disebut Konsensus Lima Poin. Berikut adalah isi dari Konsesus Lima Poin ASEAN: