Di kutip dari katadata, "
"Di pasar modern, pertumbuhan penjualan ritel pada paruh pertama tahun ini melambat menjadi 4,8 persen dari sebelumnya 11,4 persen. Untuk mini market pertumbuhannya melambat menjadi 7,04 persen dari sebelumnya 18 persen. Sedangkan untuk hyper/super market justru tumbuh 0,4 persen dari sebelumnya hanya 0,1 persen.
Perlambatan tidak hanya terjadi di pasar modern, tapi dialami juga oleh pasar tradisional. Pertumbuhan penjualan eceran di pasar tradisional dalam enam bulan pertama 2017 juga melambat menjadi 2,9 persen dari sebelumnya mencapai 9,4 persen." berita disini http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/10/04/penjualan-ritel-di-pasar-tradisional-dan-modern-melambat
Data survei tersebut memberi penjelasan lebih lanjut mengapa https://www.kompasiana.com/altitudeextreme/59b81f42a32cdd1eda29d942/melihat-dari-dekat-mata-badai-penurunan-daya-beli , dan mengapa https://www.kompasiana.com/altitudeextreme/59aebd68a1a50a1847056c54/data-inflasi-inti-indonesia-terus-melemah
Data makro akan terus berkesinambungan dan tidak terputus, apabila terjadi perubahan tren maka akan terlihat dari survei yang menjadi leading indicator, dan BI juga melihat hal ini dengan terus memberi insentif pemotongan bunga sebesar 50bps hanya dalam waktu kurang dari satu bulan, karena cut rate termasuk juga leading indicator, maka seolah BI sebenarnya memproyeksikan perekonomian secara garis besar akan tumbuh ke bawah. Dengan rata rata pertumbuhan kredit single digit maka perekonomian kita sebenarnya sedang vivere pericoloso dengan apa yang dinamakan resesi atau zero growth, karena pada dasarnya pertumbuhan manufaktur tergantung pada konsumsi ritel yang menjadi tiang utama pertumbuhan ekonomi.