"Warung Uti, Semangat yang Tak Pernah Luntur"
Di sudut desa kami yang tenang, ada sebuah warung kecil yang berdiri sejak aku belum lahir. Bangunannya sederhana, dindingnya sebagian dari kayu lama, rak-raknya dari triplek yang sudah berubah warna, tapi di dalamnya ada denyut kehidupan yang tak pernah padam. Warung itu milik Uti-ku---perempuan tua yang tubuhnya mungkin tak sekuat dulu, tapi semangatnya masih menyala seperti bara yang tak kunjung padam.
Warung itu bukan sekadar tempat jual beli. Warung itu saksi perubahan zaman, tempat bertemunya cerita-cerita desa, tempat orang mencari kebutuhan harian, dan tempat aku tumbuh besar. Dari sinilah aku mengenal sosok Uti, bukan hanya sebagai nenekku, tapi sebagai pekerja keras yang pantang menyerah.
Menurut cerita ibu dan para tetua desa, dulu warung Uti adalah pusat perbelanjaan kecil yang lengkap. Apa saja dijual di sana---dari perabot rumah tangga seperti piring, baskom, sapu lidi, hingga pakan ternak: dedak, konsentrat, dan rumput kering. Bahkan bensin pun bisa dibeli di situ, dijual dalam botol-botol bekas minuman, ditata rapi di rak kayu depan warung.
"Dulu peternak di desa ini banyak," kata Uti suatu hari saat aku sedang membantu menyusun mie instan di rak. "Jadi ya, pakan ternak laris. Sapi, kambing, ayam... semua ada."
Namun waktu berjalan. Satu per satu peternak beralih profesi. Anak-anak muda memilih bekerja ke kota, dan lahan mulai jarang digunakan untuk beternak. Maka isi warung pun berubah perlahan. Barang-barang besar digantikan oleh barang kebutuhan harian: kopi sachet, minyak goreng, sabun mandi, gula, telur, dan jajanan anak-anak.
Kini, warung Uti lebih mirip warung kelontong biasa---tapi bagiku, tak ada yang biasa dari perempuan yang menjaganya.
Meski usianya telah jauh dari masa muda, Uti tetap bangun pagi, menyiapkan dagangan, menghitung stok barang, dan mencatat apa yang harus dibeli. Ia tidak pernah belajar akuntansi, tapi pembukuan di buku tipisnya rapi luar biasa. Bahkan coretannya pun penuh ketelitian.
Sering kali, aku diminta untuk mengantar Uti ke pasar. Bukan hanya untuk belanja kebutuhan warung, tapi juga karena ia masih berjualan di pasar desa Akami setiap pasaran Pon Legi. Di hari itu, ia bangun lebih pagi dari biasanya. Sambil membawa dagangan kecil---sayur-sayuran, bumbu dapur, dan jajanan tradisional---ia menuju pasar dengan semangat yang tak pernah berubah sejak dulu.
"Kalau di rumah terus, Uti malah capek," katanya padaku saat kami dalam perjalanan. "Di pasar, Uti bisa ketemu orang, ngobrol, gerak. Biar badan nggak kaku."