Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyambung Artikel Sendiri—Spektrum Kecerdasan Orang Beriman

13 Juli 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:36 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Artikel sendiri yang saya maksud dapat Anda simak di sini. Dalam artikel itu, saya membedakan istilah orang beriman berspektrum kecerdasan tinggi (selanjutnya disingkat SKT) dan orang beriman berspektrum kecerdasan rendah (SKR) bukannya untuk menyanjung SKT atau menghina SKR, tetapi sekedar memakainya sebagai fakta pembeda tanpa bermaksud menghakimi sama sekali. Orang beriman cenderung mencari kekonsistenan dalam kepercayaan dan persepsinya dan apa yang terjadi ketika salah satu kepercayaan kita bertentangan dengan kepercayaan lainnya yang kita juga peluk? Misalnya, orang percaya pada Kebenaran Kitab Sucidan percaya juga pada temuan empiris sains karena orang itu meyakini bahwa keduanya tidak akan bertentangan satu sama lainnya, misalnya ia meyakini bahwa Kitab Sucinya meliputi sains. Apakah agama dan sains atau kepercayaan dan rasionalitas empiris itu dua hal yang selaras satu sama lainnya? SKT akan sepenuhnya menyadari ketidakselarasan keduanya dan memosisikan keduanya di tempatnya sendiri-sendiri. Bagaimana dengan SKR? Mereka akan memaksakan diri untuk mencampuradukkan keduanya dengan mengklaim bahwa agama mereka meliputi sains dan bersifat rasional atau dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Bagaimana seandainya temuan mutakhir sains bertentangan dengan keimanan agama? SKT akan bersikap tenang-tenang saja karena baginya sains dan agama memang menempati dua bidang yang berbeda. Mereka bahkan akan memanfaatkan penemuan sains itu untuk memeriksa dan jika diperlukan mengoreksi keimanannya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan empiris yang dapat diverifikasi kebenarannya itu. Sebaliknya, SKR akan mengalami semacam “kebakaran jenggot” karena dua kepercayaannya itu saling bertentangan dan timbullah ketidaknyamanan psikologis yang menggerogoti batinnya. Ia mesti mengubah sesuatu agar dapat menghilangkan atau mengurangi ketidaknyamanan ini. SKR cenderung melakukan pembenaran diri terhadap kepercayaan agamanya ketika bukti yang menentang keimannya disajikan kepada daya pikirnya. Misalnya saja jika kepada daya pikirnya diajukan fakta atau kenyataan bahwa yang diyakininya itu pada hakikatnya merupakan “kebenaran” anggapan mereka, sebagaimana dengan berbagai “kebenaran” anggapan lainnya dari banyak orang lain yang menganut sistem kepercayaan lain, daya pikir SKT akan menerima kenyataan itu dengan sepenuh hati dan dengan demikian, misalnya, akan memupuk toleransi sejati secara alami terhadap para pemeluk sistem kepercayaan lainnya karena menyadari bahwa yang mereka pegang itu merupakan kebenaran relatif sesuai dengan sistem kepercayaannya masing-masing. Sebaliknya, SKR akan berusaha secara mati-matian menyangkal kenyataan itu dan membantahnya dengan mengajukan berbagai dalih dan dalil tidak masuk akal. Pertama-tama, ia akan berdalih bahwa “kebenaran” yang diyakininya itu bukanlah “kebenaran” anggapan atau kebenaran relatif, melainkan kebenaran mutlak, yang merupakan kebenaran eksklusif satu-satunya. Kita semua juga tahu bahwa mereka mengekspresikan kemutlakan ini hanyalah semata-mata berdasarkan keyakinan membuta mereka terhadap apa yang ditulis dalam Kitab Suci dan ditegaskan dalam kitab rujukan lainnya. Sebagian SKR lainnya memilih untuk mengabaikan kenyataan itu dan membiarkan dirinya tinggal dalam ketidaktahuan agar tetap dapat merasionalisasikan bahwa agamanya merupakan kebenaran mutlak satu-satunya. Meskipun hal ini berarti mereka telah membohongi dirinya sendiri, mereka tetap memilih opsi itu dalam menghadapi kenyataan, atau dengan kata lain, mereka melarikan diri dari kenyataan.

Selain menerima kenyataan itu, SKT dengan seketika itu juga menyadari bahwa “kebenaran” anggapannya sendiri itu (atau “kebenaran” anggapan tangan-kedua setelah “kebenaran” anggapan yang dituliskan dalam Kitab Suci dan diajarkan oleh para otoritas agama lainnya) perlu diBUKTIkan agar mereka dapat benar-benar menemukan kebenaran sejati yang akan memedomaninya menjadi manusia sejati yang menikmati kebahagiaan sejati dalam hidup ini. Sebaliknya, yang sangat menyedihkan dan memrihatinkan ialah daya pikir, perilaku, dan perbuatan SKR dalam menanggapi hal yang sama. Mereka secara membabibuta tetap akan memegang teguh “kebenaran” anggapan itu dengan kelembaman atau kestagnanan total dalam dirinya. Bayangkan saja, batin mereka memakubumikan dirinya sendiri dalam kestagnanan total, sementara segala dalam dirinya dan lingkungannya berubah setiap saat. Bukankah dalam hidup ini mereka secara psikologis atau kejiwaan akan digilas oleh hukum perubahan itu sendiri? Mereka tidak kuasa pula menahan berlakunya hukum entropi yang menggerus fisik dan batin mereka dari hari ke hari sepanjang hidup mereka. Dan mereka ini malah memiliki “keberanian” mengaku-aku bahwa diri mereka selalu berbahagia memegang “kebenaran” anggapan itu karena mereka selalu memiliki berbagai dalih pembenaran. Ketika mereka sedang mengalami penderitaan mereka selalu menghibur diri dengan menyatakan bahwa mereka sedang diujiNya. Begitu pun ketika seiisi desa mereka dilanda bencana tsunami dahsyat yang membuat dirinya lagi-lagi sangat menderita, mereka tetap berpegang teguh pada pendapat bahwa mereka sedang diujiNya dan meyakini bahwa orang beriman selalu menghadapi ujian di dunia ini dengan mengalami segala macam penderitaan sehingga kelak dapat menghuni surga abadi yang dijanjikan dalam Kitab Suci mereka.

Jauh di dalam lubuk hati mereka, para SKR yang daya pikir dan daya rasanya belum mengalami kerusakan parah sebenarnya bukan tidak menyadari bahwa mereka melarikan diri dari kenyataan yang dihadapinya sehari-hari dan secercah kesadaran ini menimbulkan rasa ketidaknyamanan psikologis mencekam dalam pikiran dan perasaan mereka. Misalnya keterkondisian dalam suatu sistem kepercayaan yang memerintahkan para penganutnya membenci dan memusuhi entitas-entitas tertentu baik yang bersifat ‘gaib’ maupun nyata dalam bentuk fisik, seperti ‘syaiton’ dan kawan-kawannya, sesama manusia yang dianggap sebagai kaum kafir, bertentangan secara langsung dengan gagasan mengenai cinta kasih universal yang mungkin diajarkan dalam tradisi keluarganya, benih kasih sayang yang tertanam secara genetis dalam dirinya berkat evolusinya sebagai makhluk sosial beradab dan berkultur tinggi. Ancaman neraka yang sangat mengerikan dan iming-iming surga yang sangat menggiurkan secara psikologis itu mendorong para SKR (sering tanpa disadarinya) memihak “kenyataan” anggapan agamanya alih-alih menghadapi dan menghayati kenyataan hidup sehari-hari. Dan untuk menutupi kesadaran mereka yang sekali-sekali masih menusuk-nusuk kejiwaan mereka karena melawan hukum semesta kasih sayang semesta ini, mereka membangun dinding-dinding pertahanan diri yang bekerja berdasarkan mekanisme pertahanan kejiwaan mereka yang sesungguhnya sangatlah rapuh itu, yang sama sekali tidak pernah diakui dan disadarinya.

Mengapa para SKT pada umumnya tidak mendirikan dinding-dinding pertahanan diri yang sebenarnya semakin menghijab dari kebenaran sejati ini? Berkat kecerdasan terpadu mereka, mereka menyadari bahwa sesuai dengan sifat bawaan alaminya yang penuh kasih sayang, mereka memahami sepenuhnya bahwa perintah membenci dan memusuhi sesama hidup dalam agamanya itu tidak berlaku baginya secara kejiwaan di sini pada saat ini. Artinya, hati nurani mereka tetap jernih dan tidak terusik karena kenyataan tidak ditaatinya perintah spesifik sistem kepercayaannya ini.

Di antara spektrum orang beriman berkecerdasan tinggi (SKT) dan spektrum orang beriman berkecerdasan rendah (SKR), terdapat orang-orang beriman yang menempati wilayah abu-abu alias wilayah perbatasan, dan mereka (SKRT) ini sering terombang-ambing dalam kebingungan batin yang jelas tidak mereka sadari sendiri. Misalnya baru-baru ini terdapat seorang Kompasioner Muslimah yang menulis artikel yang sarat dengan tanggapan di Kompasiana ini bahwa agamanya merupakan agama kasih sayang sesuai dengan Kitab-Kitab rujukan sistem agamanya. Dan Kompasioner ini mendapat pembelaan atau dukungan moril dari beberapa Kompasioner lain yang mungkin menempati spektrum kecerdasan yang kurang-lebih sama, yakni orang-orang yang ingin menjalankan hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk penuh kasih sayang tetapi masih menderita pembebanpengaruhan begitu beratnya dari keimanannya. Para SKRT ini mengklaim bahwa agamanya merupakan agama yang rahmatan lil alamin pada masa lalu, maka sekarang, dan masa depan berdasarkan Kitab Suci dan kitab rujukan lain agamanya yang diklaim sebagai agama penuh toleransi itu. Dengan kata lain, para SKRT ini mengungkapkan sisi terang agamanya dengan berusaha menutupi sisi gelapnya dengan segala cara. Ketika saya mengungkapkan bahwa sebagian orang beriman lainnya dengan sama-sama berhaknya memraktikkan sisi ketidakkasihsayangan dan ketidaktoleransian agamanya dengan derajat keimanan yang mungkin lebih murni daripada mereka, mereka mulai ‘meradang’ dan mekanisme pertahanan mereka mulai sepenuhnya bekerja.

Bagaimanapun juga, sementara dinding pertahanan diri ini dibangun tinggi-tinggi dan setebal-tebalnya untuk melindungi kejiwaan mereka dari rongrongan berbagai pikiran dan emosi yang tidak menyamankan, dinding tebal-tinggi psikologis ini sering menimbulkan berbagai akibat samping patologis yang pada umumnya tidak mereka sadari sendiri. Beberapa di antara cara pertahanan diri, yang kenyataannya dapat kita amati di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ajang diskusi Kompasiana ini, adalah sebagai berikut:

Pemisahan Diri merupakan mekanisme pertahanan psikologis yang digunakan untuk menghindari ketidaknyamanan psikologis tersebut di atas, atau rongrongan pikiran dan emosional karena memiliki dua perangkat nilai yang saling bertentangan (misalnya nilai kasih sayang universal melawan nilai kasih sayang parsial khusus terhadap saudara seiman saja). Jadi, pemisahan diri merupakan proses memisah bagian-bagian diri dari kesadaran bagian diri lainnya dan berperilaku seakan-akan ia memiliki beberapa perangkat nilai yang terpisah-pisah. Misalnya dalam kasus Kompasioner Muslimah dan para pendukungnya sebagai pendukung semangat kasih sayang terhadap sesama manusia ini secara psikologis memisahkan diri mereka dari saudara seiman yang hanya mengasihi saudara seimannya saja dan membenci dan memusuhi golongan kafir. Bahkan di antara para SKRT ini mengklaim bahwa para saudara seiman yang berlainan haluan ini bukanlah teman seiman mereka, meskipun faktanya ialah mereka memakai Kitab Suci dan kitab rujukan yang persis sama, meskipun dengan penafsiran berbeda seratus delapan puluh derajat.

Kompensasi adalah proses psikologis yang berusaha menyeimbangkan kelemahan diri yang dipersepsinya dengan menonjolkan kekuatan diri dalam bidang lainnya. Sayangnya SKR dan SKRT sering melakukan proses kompensasi ini secara keliru dan berlebihan. Misalnya, ketika sebagian Kompasioner merasa bahwa keimanan mereka terserang secara rasional, alih-alih memakai rasionalitas juga untuk membantah rasionalitas yang dipersepsikannya telah menyerang keimanannya, ia melakukan kompensasi dengan mengabaikan akalnya dan menekankan keimanannya itu sendiri, misalnya dengan mengutip berbagai ayat pendukung dalam Kitab Suci mereka atau dalam hal “filsuf” beriman jagoan kita, ia akan menekankan logika berbasis keimanan versinya sendiri untuk menyangkal suatu argumentasi rasional dan setelah merasa terpojok dan tidak berkutik secara rasional ia mulai menerbangkan khayalannya sambil berputar-putar untuk menghindari pembicarakan inti yang tidak mampu ditanggulanginya secara memadai. Akhirnya, ia akan menutup pelarian kompensasinya dengan mengeluarkan jurus ‘kacamata’ pandangan: materialisme, inderawi, mata-satu, dan lucunya ia sama sekali lupa menanggalkan ‘kacamata kuda’ kefanatikan keimanannya yang tidak rasional.

Penyangkalan ialah penolakan untuk menerima kenyataan dan berpikir, bersikap, berperilaku, dan bertindak seakan-akan pikiran, perasaan, dan kejadian menyengsarakan yang menimpa dirinya tidak ada. Penyangkalan merupakan salah satu mekanisme pertahanan psikologis yang paling primitif karena hal ini telah tertanam sejak usia sangat dini. Misalnya seorang batita yang menjerit-jerit terantuk pinggiran dan pengasuh yang lalai dalam mengawasinya karena sibuk berhaperia dengan pacarnya secara tergopoh-gopoh menolongnya sambil tidak lupa menepuk pinggiran meja sambil ngomel berpura-pura marah menyalahkannya, secara tidak sadar menanamkan benih sifat penyangkalan ini dalam benak si kecil itu. Lalu, sifat penyangkalan ini diperkuat setiap hari dengan kebohongan rutin ayahnya yang berpoligami, misalnya. Lalu keterampilan penyangkalan ini dipupuk dan dikembangkan lagi melalui pergaulan dan pendidikan yang dialaminya sejak remaja sampai dewasa. Jadilah ia seorang penyangkal amat terampil yang tidak berubah air mukanya ketika ia sedang menyangkal, seperti misalnya para saksi pengadilan di bawah sumpah yang mengaku-aku tidak pernah kenal terdakwa, tetapi setelah kepada majelis hakim dan kepadanya ditunjukkan fotonya bersama tertuduh, atau mendengarkan hasil rekaman KPK tentang percakapan mereka yang akrab dengan segala ‘sandi onta dan kurma’ segala, para penyangkal ini hanya ‘nyengir-kuda’ mengakui kebohongannya.

Delusi adalah kepercayaan yang dipegang teguh dengan keyakinan sangat kuat meskipun terdapat bukti-bukti sangat kuat pula yang menyangkal kebenaran yang diyakininya itu. Delusi orang beriman SKR atau SKRT akibat terlalu meyakini kebenaran dogma agamanya ditunjukkan secara telak oleh seorang Kompasioner yang beberapa tulisannya pernah saya bahas di sini, di sini, dan di sini. Setelah Anda membaca sendiri beberapa artikel penuh delusi itu dengan seksama, berikut ulasan singkat saya dalam artikel-artikel itu. Anda tentu akan menyadari betapa mekanisme pertahanan diri berupa delusi ini jelas bekerja dalam diri sebagian SKR.

Proyeksisebagai salah satu mekanisme pertahanan diri merupakan penyalahatribusian berbagai dorongan dan keadaan psikologis yang tidak diinginkan dalam diri pada orang lain. Contohnya yang telak lagi-lagi dapat kita temui pada Kompasioner super-produktif kita yang beberapa artikelnya telah saya ulas. Meskipun hampir dalam semua artikelnya ia pada umumnya melakukan pemroyeksian diri pada orang lain, secara spesifik pemroyeksiannya itu kelihatan dalam artikelnya yang saya bahas di sini dan saya jelaskan dengan beberapa kalimat ini: “Ada loh yang lebih aneh dan lucu, yakni simak saja frasa kata berikutnya, ‘keburu ajal menjemput’, ‘hakikat kehidupan’, ‘mengurung diri dalam satu kamar’, ‘hanya menggumuli hal teknis’, ‘lalai memikirkan hal mendasar’, dan ditutup dengan ‘kerugian besar baginya’. Ini juga sama-sama merupakan proyeksi pikiran dan pengalamannya sendiri pada orang lain. Anda mau tahu yang sebenarnya? Keburu ajal menjemput UB, ia hanya berkutat dengan keyakinan, “kebenaran anggapan”, dan khayalannya saja; ia selama hidupnya tidak akan pernah mengerti dan menghayati ‘hakikat kehidupan’ sejati karena keterbatasan kemampuannya sendiri; ia mengurung diri dalam sel penjara sistem kepercayaannya yang sangat menyesakkan hidupnya; ia lalai memikirkan dan menghayati kenyataan dalam kehidupan sehari-harinya karena ia selalu melarikan diri memeluk “kenyataan” anggapan dalam khayalannya sendiri; dan sesungguhnya seperti yang ditulis dalam salah satu Ayat, ia adalah manusia yang meRUGI dalam hidup ini.”

Rasionalisasimerupakan proses kognitif membuat sesuatu tampak konsisten dengan atau berdasarkan pada nalar, yakni merupakan pembentengan persepsi untuk melindungi ego dalam menghadapi kenyataan yang selalu berubah. Dalam psikologi dan logika, rasionalisasi (yang juga dikenal sebagai proses berdalih) merupakan mekanisme pertahanan bawah-sadar yang berusaha membenarkan secara rasional dan logis suatu perilaku atau pemikiran yang sebenarnya tidak rasional dan tidak logis.

Tentu saja, perbedaan antara SKT, SKR, dan SKRT yang diuraikan dalam artikel ini tidaklah bersifat eksklusif dan tetap. Semuanya berubah tergantung dari beban-pengaruh yang menimpa orang beriman yang bersangkutan. Yang jelas, kualitas kecerdasan terpadu masing-masing orang beriman akan membedakan tanggapan mereka selanjutnya terhadap pikiran, perasaan, dan dorongan kehendak dalam batin mereka sendiri. Daya pikir, daya rasa, dan daya intuisi yang peka akan menempatkan SKT dalam kesadaran terhadap pikiran, perasaan, dan intuisinya sendiri. Kesadaran ini mampu mengendalikan pikiran, perasaan, dan intuisinya sehingga bagian yang ‘menyimpang’ akan tereliminasi dengan sendirinya. Sebaliknya, SKR biasanya akan terbawa oleh pikiran dan emosinya dengan intuisi yang mampet alias tidak berfungsi. Hidupnya menjadi tidak tenang karena keseluruhan sikap, perilaku, dan perbuatannya dikendalikan oleh banyak pikiran dan emosi negative yang secara terus-menerus menyerangnya secara bertubi-tubi. SKRT yang menempati wilayah perbatasan terombang-ambing di antara keduanya tetapi lebih cenderung mengalami kemerosotan dan secara cepat atau lambat akan bermigrasi ke wilayah SKR jika pembebanpengaruhan terhadap kejiwaannya menjadi semakin berat dan bersifat korosif terhadap kadar kecerdasannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun