Selain itu, Tradisi Perang ketupat sejak 2014 telah diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Pengakuan tradisi perang ketupat sebagai warisan budaya tak benda merupakan upaya untuk melestarikan dan mempromosikan nilai-nilai budaya serta membangun kesadaran akan pentingnya menjaga dan memperkuat ikatan sosial di dalam masyarakat.
Tradisi Perang Ketupat ini dilakukan dengan semangat kebersamaan dan kegembiraan. Masyarakat Bangka Belitung, baik tua maupun muda, berpartisipasi dalam tradisi ini dengan antusias. Mereka berkumpul di lapangan terbuka yang telah disiapkan, mengenakan pakaian khas, dan bersiap-siap untuk melempar ketupat ke arah kelompok lawan.
Selain sebagai bentuk hiburan dan kegembiraan, tradisi Perang Ketupat juga memiliki makna yang mendalam. Ketupat sebagai simbol makanan khas Idul Fitri melambangkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Perang Ketupat juga menjadi simbol persaudaraan dan persatuan dalam menyambut Idul Fitri, di mana semua perbedaan dan perselisihan ditinggalkan untuk menciptakan kebersamaan dan kegembiraan bersama.
Tradisi Perang Ketupat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Bangka Belitung selama bertahun-tahun. Setiap tahun, tradisi ini terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda sebagai bagian dari warisan budaya yang berharga.
Tradisi Perang Ketupat adalah contoh nyata dari kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Melalui upaya pelestarian dan promosi, tradisi ini dapat terus menjadi bagian yang penting dari identitas dan warisan budaya Bangka Belitung. Perang Ketupat tidak hanya menjadi momen kegembiraan dan persaudaraan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat dengan budaya dan tradisi lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H