Mohon tunggu...
Alrdi Samsa
Alrdi Samsa Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Pascasarjana Politik Pemerintahan UGM

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alkisah, Pendidikan di Kota Anginku!

1 Mei 2017   02:33 Diperbarui: 1 Mei 2017   20:08 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkenalkan, aku pangeran Maja. Aku dilahirkan di sebuah Kabupaten yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu terkenal di Indonesia, Maja’e’langka namanya. Tempat itu sangat berkesan bagiku, banyak kepingan masa lalu yang masih kuingat sampai aku duduk di bangku kuliah saat ini, termasuk dengan kondisi sosial yang ada di Kabupaten itu. Aku awali ceritaku di sebuah sekolah yang dulu sempat di beri gelar sekolah favorit “tima” nama sekolah itu. Disana aku bertemu dengan pendidik yang mungkin luar biasa hebatnya, saking hebatnya menggerakan kaki pun tidak boleh ketika pelajaran di mulai. Itulah kesan pertama yang kudapatkan disekolah kecilku itu.

Lambat laun, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hati terkait dengan sistem cara mengajar di sekolah itu. Ah entah, nanti mungkin akan kuceritakan lebih dalam lagi terkait dengan sistem pembelajarannya, ini terlalu berat untuk dikemukakan diawal. Beralih pada kisahku tentang pertemanan, sangat ingat waktu itu mungkin aku berteman dengan orang yang “negatif” selalu di kejar-kejar guru BK, tapi tidak mengapa. Justru aku menemukan eksistensi diri kala itu, saking eksist nya aku, ibuku pun di panggil oleh guru BK itu, perlahan tapi pasti aku mulai sadar bahwa aku harus memilah pertemananku di sekolah ini.

Teman merupakan perangkat terhebat yang Tuhan berikan kepada kita untuk menunjang pencapaian kita. Etika, moralitas dan norma kadang kala pelajaran itu kita dapatkan dari teman sendiri. Maka dari itu aku anggap temanku sebagai guru hidupku, guru yang mengajarkan bagaimana kita berkomunikasi. Karena aku percaya ungkapan Nietzsche yang berkata bahwa orang berteman harus saling mendidik. dan berteman bukan saling mengakali apalagi memanfaatkan. Terlebih perkataan Goethe yang mengartikan teman adalah orang yang menerima anda dalam keadaan yang terburuk, tetapi memeberi inspirasi untuk menjadi orang yang lebih baik.

Beberapa tahun kemudian, akhirnya aku lulus SMP, aku lanjutkan studiku ke jenjang selanjutnya yakni SMA, nama SMAku adalah “daka”. Terdengar bagus bukan namanya? Seperti nama ibu kota di salah satu negara timur. Disekolah inilah aku belajar, mawas diri, mematuhi perintah guru, tunduk akan segala peraturan dan mengimani sesosok guru yang sangat tegas, lugas, disiplin tapi entah, aku belum menanyakan terkait dengan kehidupannya sendiri apakah dirinya sendiri disiplin dalam menjalani kehidupan? Ah sudah~ hiraukan itu hanya sekilas bayangan yang terlintas tentang Guru olahraga yang kuimani, karena “takut”.

Pemikiran kritis tentang kehidupan sosial pun aku dapatkan di daka. Aku mulai mengetahui jalannya sistem pemerintahan, birokrasi pemerintahan dan kinerja pemerintahan serta politik. Namun sangat sedikit sekali temanku yang interstdibidang itu.Tidak heran aku sering bertanya pada diriku sendiri mengapa teman-temanku di Maja’e’langka begitu sunyi membicarakan perihal politik. Terkesan seperti semua siswa tidak peduli akan ritme politik yang ada di Maja’e’langka. Saat itulah aku menekuni bidang pemerintahan dan politik, didukung dengan mata pelajaran yang sangat aku tekuni yakni sosiologi dan pendidikan kewarganegaraan.

Sampailah, pada tahun aku lulus. Aku belum juga menemukan ritme politik di daerahku, alur politik yang ada. Dan juga sistem politik seperti apa yang ada di daerahku. Apakah ada prinsip keterbukaan politik yang dijalankan oleh pemerintah? Kalau ada mengapa aku yang sudah berusia 18 tahun belum mengetahui apa dan bagaimana politik dan sistem pemerintah yang ada di Maja’e’langka? 


Pada akhirnya, 3 tahun sudah aku kuliah di Nagari malio’oboro, menekuni studi ilmu pemerintahan. aku mulai menyadari fenomena yang ada di Kabupaten kelahiranku sendiri. Aku mulai faham tentang sistem pendidikan, sistem pemerintahan, birokrasi, paradigma keterbukaan serta akuntabilitas pemerintahan. Aku ingin memberikan kritik, aku pangeran Maja, yang lahir di Maja’e’langka tentunya memiliki hak politik, hak untuk berbicara di manapun. Inilah yang terjadi kawan-kawan di Maja’e’langka. Berawal dari sistem pendidikan formal yang ada didaerah itu, perangkat pendidik atau yang disebut guru. Menjadikan siswa sebagai subjek bukan sebagai objek dalam ranah pendidikan. Mula-mula sekolah melumpuhkan tradisi berpikir kritis kita kawan. kita dibiasakan dengan suatu aturan yang menjadi keyakinan kita, ketaatan yang menjadi kewajiban kita dan nilai menjadi keimanan kita bahkan guru pun kadang kala harus di hormati dan di patuhi seperti Tuhan.

Maka ini memiliki implikasi secara langsung saat kita kuliah, saat kita kuliah kredo yang dibangun adalah “aku memiliki, maka aku ada”. Jiwa dialektis-matrealistik yang kita bangun mengakibatkan reputasi intelektual kita tersungkur keras, nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi jatuh. Hanya karena hubungan komersialisasi kampus dan privatisasi kampus yang menghasilkan budaya konsumerisme. Maka tak jarang, teman-teman seperjuanganku yang telah lulus kuliah menggadaikan dan memperjual-belikan gelar sarjananya, bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk diri kita secara pribadi.

Maka aku bercerita kembali, nilai spiritual, intelektual, serta moralitas kita jatuh. Politikus yang ada di Maja’e’langka dengan sangat senangnya menjalankan segala kepentingan pribadi dengan leluasa. Karena kita mahasiswa tidak melakukan satu pengawalan terhadap pemerintah kita sendiri. Kita mahasiswa terjebak dalam ketentraman, kesunyian dan kenikmatan semu di Kabupaten itu. 

Wakil kita dulu, terjerat kasus korupsi yang merugikan masyarakat.[1] Wakil kita yang membuat segala regulasi tentang tata cara kita hidup bernegara di Kabupaten itu melakukan perampasan hak hidup, hak kesejahteraan kita.  Lantas apa kah kita hanya bisa diam? Apakah kita lebih untuk mencari kesenangan pribadi dalam kehidupan kita dan apatis terhadap ini semua? Kalian sendiri yang bisa jawab pertanyaan itu.

Terjawab sudah mengapa aku sampai pada usia 18 tahun tidak mengetahui ritme politik didaerahku adalah karena sistem pendidikan yang ada, sistem birokrasi yang ada. Maka pikiran ini terkungkung hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus, agar menjadi murid yang teladan dan berprestasi berdasarkan subjektifitas guru pendidik kita di masing-masing sekolah. Inilah pesan yang ingin kusampaikan kepada semua mahasiswa/siswa maja’e’langka, jangan sampai kepatuhan hanya menjadi norma, taat menjadi agama, dan indeks prestasi menjadi keimanan.[2] Ada banyak hal yang harus kita selesaikan bersama-sama teman seperjuanganku di Kabupaten yang kita sayangi bersama. Jangan pernah terlelap, bangun. Tidak perlu aku menjabarkan semua kasus yang ada di Kabupaten kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun