Mohon tunggu...
Rifdah Al Qisthi A
Rifdah Al Qisthi A Mohon Tunggu... Mahasiswa

Diri ini adalah bagian dari seni.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bersuara Lewat Gambar Digital

2 Oktober 2025   22:39 Diperbarui: 2 Oktober 2025   22:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digital karya pribadi yang saya unggah di akun instagram @graksart_ sebagai bentuk suara dalam aksi 28 Agustus.

Sore itu ketika Saya membuka Sosial Media Intagram sambil menikmati donat bertabur gula hanya untuk sekedar scroll. Tapi hari ini berbeda. Sosial media kembali ramai tentang aksi demonstrasi besar tragedi 28 agustus. Tentang kemarahan masyarakat terhadap tunjangan yang diberikan kepada DPR, hingga banyaknya korban saat aksi demonstrasi di jakarta. Foto-foto massa, poster dengan kata-kata yang tajam, dan cerita-cerita dari teman yang turun langsung ke jalan terasa begitu hidup. Namun Saya berhenti di satu postingan kolaboratif akun @bukusenirupa dan @studio.sosial yang bertuliskan “UNTUK SENIMAN & DESAINER,DIAM BERARTI MEMBIARKAN!”. Saya termenung sebentar melihat postingan tersebut. Dalam postingan itu juga diselipkan kata “JADIKAN AKSI INI SEBAGAI PELURU PERLAWANAN, SUARA KITA AKAN MENGGUNCANG TEMBOK KEKUASAAN YANG PEKAK.”.


Rasanya seperti ajakan langsung yang menuntut respon, bahkan kepada Saya yang hanya seorang Ilustrator Pemula. Saat itu juga Saya merasa, Saya tidak bisa hanya jadi penonton. Dengan kemampuan yang belum seberapa ini, Saya akhirnya membuat sebuah ilustrasi dan mempostingnya di akun instagram Saya yang khusus mengunggah karya seni Saya di @graksart_. Memang tidak sebagus itu gambar digital yang Saya posting. Namum memang bukan itu tujuannya, bukan untuk berlomba mana yang lebih bagus. Bukan untuk dipuji secara estetika, tapi dijadikan pengingat dan alat menuju kesadaran kolektif. Ternyata postingan Saya banyak menuai respon dari teman teman virtual, mulai dari like, komen hingga memosting ulang postingan Saya. Juga banyak dari sebagian teman Ilustrator dan Desainer yang turut bersuara karena tergerak dari postingan tersebut. Ada rasa hangat ketika tahu bahwa kami, meski dengan medium berbeda, sedang berada dalam satu gelombang perlawanan yang sama.


Dalam teori Charles Tilly, khususnya dalam karyanya From Mobilization to Revolution (1978), gerakan sosial dipahami sebagai hasil interaksi antara masyarakat dan negara yang ditopang oleh tiga hal penting: mobilisasi sumber daya, peluang politik, dan repertoar aksi kolektif. Repertoar ini adalah kumpulan cara-cara yang biasa dipakai masyarakat untuk menyampaikan protes dan aspirasi, seperti demonstrasi, pawai, mogok kerja, hingga aksi-aksi simbolik lain. Menurut Saya, gambar digital yang saya posting adalah bentuk dari repertoar aksi itu, poster yang banyak tersebar di media sosial. Di era sekarang, media sosial menjadi ruang bersuara dan berpendapat. Menjadi panggung baru dalam bersuara juga melengkapi aksi jalanan yang dilakukan beberapa teman Saya. Dari sini Saya mengambil kesimpulan bahwa teori Tilly masih relevan, bahkan semakin kaya ketika diterapkan di era digital. Kreativitas, seni, dan media sosial tidak lagi sekadar ruang ekspresi, tetapi juga senjata dalam perjuangan bersama.

Charles Tilly (1929–2008) sendiri adalah seorang sosiolog dan ilmuwan politik asal Amerika Serikat yang banyak meneliti tentang konflik sosial, revolusi, serta hubungan antara masyarakat dan negara modern. Ia lahir di Lombard, Illinois, dan tumbuh di tengah situasi dunia yang sarat dengan peperangan dan perubahan politik, yang kemudian memengaruhi arah pemikirannya. Bagi Tilly, protes bukanlah fenomena acak, melainkan sebuah tindakan terstruktur yang lahir dari kesempatan politik, mobilisasi sumber daya, serta bentuk-bentuk aksi yang sudah dikenal dalam sejarah masyarakat. Pemikirannya membantu Saya memahami bahwa gambar digital yang saya posting bukanlah hal yang sepele. Melainkan bagian dari gelombang perlawanan. Kalimat “DIAM BERARTI MEMBIARKAN” akhirnya tidak menjadi slogan atau embel- embel belaka. Tetapi menjadi alat penggerak untuk ikut bersuara.

Referensi:

  • Tilly, C. (1978). From Mobilization to Revolution. Reading, MA: Addison-Wesley.

  • Tilly, C. (2004). Social Movements, 1768–2004. Boulder, CO: Paradigm Publishers.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun