Mohon tunggu...
alpin boya
alpin boya Mohon Tunggu... -

Cintailah produk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Caleg Pilihan Tempo dan Seratus Persen Taufik Basari

28 Maret 2014   08:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara soal media yang kritis terhadap politik nasional, Tempo merupakan salah satu brand yang punya daya tarik kuat untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, sejak terbit perdana tahun 1971 majalah ini telah acap kali berlaku “nakal” lewat berita-beritanya yang kerap berseberangan dengan kepentingan penguasa.

Di era kekuasaan Soeharto, Tempo adalah salah satu dari sedikit media yang berani menyebarluaskan potret buruk politik negara. Namun tak berhenti sampai Soeharto tumbang, “kenakalan” semacam itu masih juga kentara dalam terbitan-terbitan Tempo selepas reformasi 1998. Sejak terbebas dari pembredelan Orba, Tempo cukup konsisten melakukan kritik terhadap institusi-institusi korup serta menyingkap berbagai praktik mafia kekuasaan di Indonesia. Dengan demikian, bisa dibilang bahwa reputasi Tempo sebagai media yang kritis dan berpihak pada publik masih cukup terjaga.

Menariknya, di tahun politik ini kritik Tempo tidak semata-mata ditujukan kepada para pemain kuasa. Tepat hari Senin lalu (24/03/2014) Tempo menerbitkan edisi mingguannya dengan tajuk “Bukan Caleg Dalam Karung”. Alih-alih melontarkan “serangan” kepada kelompok elit yang tengah berkompetisi, di edisi tersebut Tempo malah menyinggung sikap publik yang banyak pesimis dalam melihat politik. Bukannya menunjuk wajah “penjahat” yang harus diperangi bersama, Tempo malah menunjuk penyakit publik yang telah lama menggejala, sekaligus menyebut nama-nama “pahlawan” yang layak dipercaya untuk memperbaiki jalannya negara. Di titik ini, saya pribadi menilai Tempo telah melakukan langkah yang cukup bijak. Sebab, tak sekedar membeber-beberkan masalah, ia justru aktif menawarkan solusi konkret yang mungkin bisa meredam sinisme publik terhadap pemilihan legislatif 9 April nanti.

Dalam terbitannya itu, Tempo merekomendasikan sebelas orang caleg dari berbagai partai politik dan latar belakang profesi. Tapi bukan hanya menjabarkan riwayat kerja masing-masing caleg, Tempo juga menodongkan beberapa pertanyaan mendasar yang terkait sikap politik mereka. Salah satu pertanyaan itu berbunyi: “Mana yang Anda pilih, kepentingan konstituen atau kepentingan partai?”.

Sampai disini ada sesuatu yang saya sesalkan. Pasalnya, rata-rata caleg pilihan Tempo itu menjawab bahwa mereka lebih memilih kepentingan konstituen ketimbang partai. Bahkan, ada beberapa caleg yang berkeras akan keluar dari partainya jika dipaksa mengabaikan kepentingan konstituen. Di satu sisi, jawaban semacam ini memang terdengar amat manis. Tapi di sisi lain, jawaban itu juga menyiratkan pikiran yang tak ideologis dan jauh dari kritis.

Bagaimana jika konstituen memiliki kepentingan yang berpeluang menimbulkan kerugian hak pada kaum minoritas? Bagaimana jika kepentingan konstituen berpotensi merusak sumber daya alam dan mengancam sumber kedaulatan negara di masa depan? Apa betul segala kepentingan yang keluar dari mulut konstituen itu mutlak perlu dibela?

Saya pribadi bersepakat bahwa konstituen memiliki posisi penting dalam penyelenggaraan politik negara. Namun, negara juga tak boleh ditambatkan semata-mata pada kepentingan konstituen yang jamak dan tak terukur substansinya. Bagaimanapun pemerintahan perlu berpatokan pada asas-asas yang berlandaskan akal sehat, serta sarat akan visi tentang keberadaban hidup bersama. Berpijak pada pendapat ini, saya terpaksa bersepakat dengan Taufik Basari (Nasdem), satu-satunya caleg yang berani keluar dari dikotomi kepentingan konstituen-partai tadi dengan menyatakan bahwa: “Seratus persen saya berjuang membawa isu HAM dan antikorupsi. Buat saya itu prinsipil”.

Dan pada akhirnya, dengan terpaksa pula saya katakan bahwa saya cukup kecewa. Sekalipun Tempo terkenal kritis, ternyata tak semua caleg jagoannya berani berpikir ideologis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun